Sunday, September 23, 2012

Post-it !


Rahel menatap lautan kertas post-it yang tertempel di hadapannya. Sudah hampir setengah jam ia duduk tanpa melakukan apa pun di depan meja belajar. Buku biologi yang terbuka lebar dibiarkannya begitu saja, semangat untuk membaca baris demi baris kalimat yang digarisnya dengan stabilo warna-warni sudah menguap sejak tadi.

Rahel membaca setiap tulisan dalam post-it itu satu persatu. Mulai dari catatan bahan ulangan, rumus, jadwal les dan rapat OSIS, deadline tugas, sampai yang nggak penting seperti quotes dan doodles yang dibuatnya di sela-sela jam pelajaran, serta lirik-lirik lagu ciptaannya yang selalu muncul saat otaknya jenuh seperti saat ini.

Rahel menghembuskan napas keras. Sebuah kertas post-it yang sengaja ditempelnya agak jauh dari kumpulan post-it lain menangkap perhatiannya. Tulisan pada kertas itu berbeda dari yang lainnya—acak-acakan dan hampir tidak terbaca. Tapi Rahel sudah tahu isinya tanpa harus membacanya lagi, ia sudah hapal isinya lantaran terus menerus melihatnya selama hampir seminggu ini:

On Ground. Sabtu 29 September. Pk 19.30. Gonna be awesome!

Semuanya berawal dari keisengannya Senin kemarin, sepulang rapat OSIS. Tiba-tiba saja ia tergoda untuk masuk sebentar ke ruang musik. Dan tanpa ia sadari, ia sudah mengeluarkan sebuah gitar akustik dari lemari dan memetiknya pelan. Sebuah melodi yang sudah sejak jam pelajaran fisika tadi terngiang-ngiang di kepalanya, sebuah ide untuk lagu barunya.

“Bagus,” sebuah suara dalam mengejutkannya. Rahel menoleh, mendapati Erga, teman sekelasnya bersandar di pintu dengan kedua tangan di saku celana.

“Sejak kapan elo nguping?” nada Rahel terdengar ketus tanpa sengaja. Baru kali ini ada orang yang mendengar lagu ciptaannya. Bahkan baru kali ini ada orang selain Mama dan Papa yang mendengarnya bermain gitar.

“Cukup untuk tau elo jago,” Erga nyengir, lalu duduk di belakang drum. “Ada kertas?”

Rahel menggeleng sambil mengerutkan kening. “Post-it boleh?”

Post-it will do,” Erga tersenyum, lalu menerima kertas post-it yang memang selalu dibawa Rahel ke mana-mana. Dengan cekatan ia menuliskan beberapa kalimat di sana, lalu memberikannya pada Rahel.

“On Ground?” Rahel membaca tulisan yang tertera. Ia pernah sekali diajak Yoris sepupunya ke sana. Sebuah kafe yang menampilkan band-band independen setiap malamnya, kalau beruntung pengunjung bisa mendapat kesempatan mendengar musik-musik yang luar biasa.

“Sabtu ini gue line-up di sana. You’re welcome to join if you wish,” Erga tersenyum hangat,”Jangan lupa bawa gitar lo”.

Rahel terdiam sejenak. “Elo serius? Gue?”

“Kaget?”

“Gue nggak sekompeten itu. Gue nggak jago,” Rahel menggeleng, selama ini main gitar cuma jadi guilty pleasure-nya—pelariannya kalau ia sudah jenuh dengan tugas dan segala macam urusan organisasi. Nggak pernah kepikir sama sekali untuk mengembangkan hobinya yang satu itu.

“Jangan merendah,” cibir Erga. “Sayang banget kalau kemampuan sebagus itu disia-siain. You’ll never know what you’ll become right?”


Pikiran Rahel kembali ke saat ini. Elo kan nggak tahu elo bakal jadi apa nantinya. Selama ini ia pikir profesi cuma itu-itu aja: dokter, pengusaha, arsitek, desainer, karyawan. Nggak pernah terlintas dalam benaknya kalau ia bisa aja banting setir berkarya di dunia seni. Yah, untuk saat ini ia memang belum memutuskan untuk mencari makan di bidang itu sih. Tapi, teringat penuturan Erga beberapa hari lalu, ia jadi tergelitik untuk menjajal kemampuannya di On Ground. Toh, nggak ada salahnya kan meninggalkan sebentar urusan akademik demi mengasah minatnya? Siapa tahu, ia bisa jadi musisi nantinya!

No comments:

Post a Comment