Judy
nggak pernah tahu ada kota lain di Indonesia selain Bali sampai hari
ini. Jakarta. Program pertukaran pelajar yang ia ikuti membuatnya sadar bahwa Indonesia
ternyata nggak identik dengan pantai dan hutan aja, tapi juga gedung-gedung
pencakar langit dan high way yang
malang melintang di tengah kota. Mirip sama NYC, kota kelahirannya, hanya saja
lebih semrawut dan penuh polusi.
Cewek
berambut ikal sebahu itu menatap gedung sekolahnya. Jakarta Prime School Junior High. Lapangan basket tempatnya
berdiri sekarang membuatnya tiba-tiba kangen rumah, ia jadi teringat kegiatan
sehari-harinya menghabiskan sore bareng Olivia dan Rey di kawasan Central Park.
Lagi
asik-asiknya membayangkan apa yang tengah dilakukan kedua sahabatnya itu tanpa
dirinya, ponsel di saku Judy bergetar. Ia melirik sekilas nama si pengirim
pesan, lalu mendesah berat. Judy bahkan nggak repot-repot membukanya, ia
langsung menekan tombol delete
seperti yang sudah puluhan kali di lakukannya sejak ia tiba di Jakarta.
“Ngg…
Excuse me… Blondie?” Sebuah suara
membuat Judy menoleh. Blondie.
Perhatian gadis berkuncir kuda di belakangnya jelas-jelas terfokus pada warna
rambutnya. “Are you the new exchange
student from New York?”
Judy
tersenyum tipis. “Iya. Namaku Judy Caine.“
“Wah,
bisa bahasa Indonesia ya?” mata gadis itu melebar, gesturnya mendadak berubah
antusias, membuat Judy ikutan tertular semangatnya.
“Ya.
Kebetulan aku masih ada keturunan Indonesia, dan sempat belajar sedikit-sedikit
bahasa Indonesia dari Ibu,” jawab Judy. Menyenangkan rasanya bisa mempraktikkan
kemampuan berbahasa Indonesia kepada orang selain Ibu.
“Wow,
nggak nyangka ternyata elo punya darah Indonesia. Welcome home, kalau begitu,” gadis itu menjabat tangannya hangat,
lalu mendadak sadar bahwa ia belum memperkenalkan diri,”Ah, nama gue Sessa.
Ketua OSIS di sini, gue yang bakal bantuin lo selama lo JPS”. Sessa masih
menatap Judy excited, ia baru sadar
kalau yang namanya orang Indonesia nggak cuma ada yang berkulit sawo matang,
coklat, atau bermata sipit, berambut keriting, tapi bisa juga hadir dalam sosok
sebarat Judy.
“Hai,
Sessa. Senang bertemu dengan kamu,” Judy tersenyum hangat. Sifat ceria dan
ceplas-ceplos lawan bicaranya ini membuatnya nggak minder dengan bahasa
Indonesianya yang masih kaku. Dan Judy juga sadar, cewek ini sama sekali nggak
memandang aneh paras Asianya yang dikombinasikan dengan mata biru dan rambut
pirang khas Amerikanya.
“Mumpung
kita ketemu dan istirahat belum selesai, gue ajak ketemu teman-teman gue yuk!”
Sessa menarik tangan Judy kasual, seperti seorang teman lama yang baru saja
bertemu kembali.
Judy
mengikuti Sessa melewati koridor sekolah menuju kantin yang penuh sesak siang
itu.
“Hei,
lihat siapa yang gue bawa!” seru Sessa begitu mereka tiba di sebuah meja. Di
sana berkumpul tujuh orang siswa-siswi JPS dengan makanan mereka masing-masing.
“Wah,
bule!” seorang laki-laki bertubuh kurus dengan rambut cepak menyambutnya sambil
tersenyum ramah. “Kenalin gue Yoris”.
“Huuuu…
elo, liat yang bule dikit aja, langsung deh!” Cibir perempuan bertubuh gemuk di
sebelahnya, rautnya berubah manis tatkala menatap Judy,”Gue Boni”.
“Aku
Bintang,” seorang cowok dengan tutur bahasa yang lebih santun dari yang lain
menarik perhatiannya. Judy tersenyum lega ketika menjabat tangan Bintang,
ternyata masih ada orang Jakarta yang bisa diajak ber’aku-kamu’.
Selanjutnya
teman-teman Sessa memperkenalkan diri mereka satu per satu. Ada Bimo yang
keturunan Ambon—sekali pun Judy belum tahu di mana itu Ambon, tapi ia bertekad
untuk mencari tahu nanti; Liana, si cewek sipit keturunan Tiong Hoa; Eksan yang
gaya selengeannya mengingatkan Judy pada Rey; dan Agta, gadis cantik yang
ternyata sangat membumi—sama sekali bukan tipe anak cheers yang snob.
“Kelihatannya
menyenangkan ya, bersekolah di sini?” tutur Judy pada Sessa saat mereka sudah
ikut duduk bergabung dalam satu meja.
“Tentu
saja!” Sessa mengangguk,”Gue harap elo juga bakal betah di sini.”
Judy
tersenyum setuju. “Ternyata, orang-orang Indonesia sangat beragam ya, salut
kalian bisa mempertahankannya dan tetap berteman akrab”.
“Di
sini, di dalam teritori JPS, iya. Tapi di luar sana, di tempat geliat kehidupan
sebenarnya terjadi, masih banyak juga kok yang nggak bisa menerima keragaman
kultur di Indonesia,” Judy menangkap adanya kekecewaan dalam penuturan Sessa.
“Tapi…”
nada Sessa kembali ceria saat ia melanjutkan,”Gue percaya kok, bangsa ini juga
sedang berjuang untuk itu—untuk menolerir perbedaan. Paling nggak, ada
interaksi yang terjadi, bukannya malah apatis dan cuek terhadap perbedaan. Gue
harap interaksi yang terjadi beberapa tahun dari sekarang bukan lagi
ribut-ribut seperti yang diberitakan media, melainkan bisa duduk satu meja dan
berbincang-bincang tentang banyak hal. Seperti kita sekarang ini, susah dan
seneng bareng”.
Mendengar
penuturan Sessa barusan, Judy jadi teringat satu hal—satu nama. Nicholas Grey.
Pengirim pesan yang selama beberapa waktu ini ia cuekin. Mendadak ia jadi
kangen beradu mulut dengan cowok itu, ia ingin marah-marah dan meluapkan apa
yang selama ini mati-matian ditahannya, ia ingin menyelesaikan masalahnya dan berbaikan
lagi. Semua itu jauh lebih baik daripada cuek kan?
“Hei,
mau ke mana?” tanya Sessa saat Judy bangkit dari tempat duduknya.
“Menyelesaikan
satu urusan sebelum aku bergabung bersama kalian,” Judy tersenyum penuh
semangat,”See you tomorrow!”
No comments:
Post a Comment