Monday, September 10, 2012

Bayang-bayang Miya


Nicholas Grey selalu tahu sahabatnya tidak akan bertahan lama. Matanya bisa melihat itu,—bayangan yang mulai mengabur dari orang-orang yang waktunya hampir habis di bumi. Kemampuan yang lebih dianggapnya kutukan daripada anugerah.

“…Nik, Niko,” Miya menggucang lengan sahabatnya,”Nicholas Grey Putra!”

“Ya?” Niko menjawab sekenanya, ia melirik sekilas gadis yang terbaring dengan selang infus di sebelahnya. Lidah Jepang-Amerika Miya memang nggak pernah cocok menyebut nama belakangnya yang sangat Indonesia.

“Berhenti ngelakuin itu, Niko,” tegur Miya galak. Matanya bersinar penuh semangat, suaranya terdengar lantang, sama sekali nggak terlihat seperti orang sakit.

“Ngelakuin apa?”

“’Melihat’ bayang-bayang gue,” Miya memutar bola matanya, selain wajah orientalnya yang nampak pucat, tubuh gadis itu nampak segar bugar. Kalau saja Niko tidak berpuluh-puluh kali menyaksikan gadis ini mengalami serangan dan kolaps, ia tidak akan percaya pada apa yang dilihat mata batinnya. “Gue bosen dibacain terus. Hari ini apa? Seberapa tipis bayangan gue? Berapa lama lagi gue hidup? Berhenti mencari tahu semua itu, Nik. Gue nggak peduli.”

“Tapi, gue peduli,” rahang Niko mengeras. Ia pertama kali bertemu dengan Miya empat tahun lalu, kelas 3 SD, saat dihukum menjalani kegiatan sosial dari sekolah gara-gara bolos selama tiga hari berturut-turut. Queency Hospital memang sudah jadi langganan tetap sekolahnya mengirimkan murid-murid mereka untuk melakukan tugas sosial. Dan hari itu, Niko ditugaskan ke bangsal anak untuk menemani seorang gadis kecil sebayanya yang hendak menjalani operasi tumor otak.

Niko ingat saat itu Miya menyambutnya dengan ceria, dengan senyum yang sanggup membuatnya lupa betapa ia membenci tugasnya hari ini.

“Kamu ngelakuin apa sampai dihukum ke sini?” itu adalah pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Miya. Terlalu sering keluar masuk rumah sakit, membuatnya jadi terbiasa dengan anak-anak seperti Niko yang menemaninya sepanjang hari.

“Bolos,” jawab Niko singkat, bersyukur ternyata gadis berwajah Jepang ini fasih berbahasa Inggris,“Kamu sakit apa?”

“Brain tumor,” Miya nyengir tatkala menunjuk kepala botaknya,”Baru dicukur kemarin. Operasinya besok pagi”.

Niko mengerjap sejenak. Gadis cilik di hadapannya ini menceritakan penyakitnya seperti mengatakan menu makan siangnya. “Kamu nggak takut?”

“Takut apa?” alis Miya bertaut, seolah kata itu tidak pernah ada dalam kamusnya.

“Mati,” Niko berkata lugas, nggak peduli akan membuat gadis dihadapannya ini sedih. Toh, mereka tidak akan bertemu lagi setelah hari ini.

“Kata dokter, aku akan dibius, nggak akan merasa apa-apa. Berhasil atau nggak, mati atau hidup, aku nggak akan merasa sakit. Jadi, untuk apa takut?”

“Kamu nggak takut kehilangan orang tua kamu?”

“Tentu saja aku akan sedih. Tapi, mereka bilang kami akan bertemu lagi nanti. Mereka bilang, nggak apa-apa untuk pergi saat aku memang sudah nggak kuat”.

Niko tercenung mendengar penuturan jujur tersebut. Di akhir hari itu, sebelum mereka berpisah, ia memberanikan diri untuk mengintip bayang-bayang Miya.

Niko nggak pernah berharap bisa bertemu dengan Miya lagi setelah hari itu. Bayang-bayang Miya adalah bayang-bayang tertipis yang pernah ia lihat—seolah gadis itu bisa pergi detik itu juga di depan matanya.

“Gue peduli,” Niko menegaskan kembali, teringat pertemuan mengejutkan mereka di kafetaria rumah sakit sebulan kemudian. Niko nyaris percaya kalau ia sedang melihat hantu, kalau saja Miya tidak menepuk punggungnya bersahabat. Sejak saat itu mereka berteman akrab. Menghabiskan waktu bersama. Saling berbagi rahasia. “Gue peduli tentang berapa lama lagi elo bisa hidup, sampai kapan elo bisa bertahan, bagaimana elo menghabiskan sisa hidup elo. Kalau lo nggak mau peduli tentang semua itu, gue yang akan peduli”.

Miya tersenyum tipis, ia akan merindukan saat-saat adu mulut seperti ini kalau ia mati nanti. “Elo selalu bilang kemungkinan gue untuk hidup kecil kan? Dari dulu, kalau elo melihat bayang-bayang gue, elo selalu bilang waktu gue nggak lama lagi kan? Tapi apa yang terjadi sekarang? Gue masih di sini. Tumornya masih ada dan akan selalu tumbuh di kepala gue, sementara gue tetap hidup. I survive. Many times. Gue jauh lebih beruntung dari ibu-ibu yang nggak sengaja lo liat bayangannya di Grand Avenue dan sedetik kemudian mati tertabrak mobil. Gue jauh lebih beruntung dari anak lima tahun dengan kelainan jantung yang kita jenguk bulan lalu. Bukannya gue nggak percaya dengan kemampuan lo, tapi gue sadar apa yang lo lihat bisa berubah. Elo bisa mengubahnya—atau paling nggak berusaha mengubahnya. Makanya gue selalu bilang you’re gifted, Nik.”

Niko tahu semua yang dikatakan sahabatnya benar. Miya selalu punya sesuatu yang nggak pernah dimilikinya sejak dulu—kemampuan untuk bersikap positif dalam kondisi apa pun.

Everybody dies anyway,” Miya berkata ringan,”Dalam kasus gue, gue cuma lebih dekat aja sama kenyataan itu. Di mana dan karena apa gue akan meninggal, cuma Tuhan kan yang tahu? Bahkan elo nggak akan bisa melihat itu”.

Even a death predictor needs God, huh?” Niko tersenyum muram.

Everybody needs God,” Miya tersenyum ke arah sahabatnya,”And… someone to hang on in the worst of their life”.

“Stop,” Niko mengangkat sebelah tangannya, tahu kemana pembicaraan ini akan mengarah, ia paling malas kalau Miya sudah mulai melankolis seperti ini.

Thanks for being my best friend,” Miya tertawa kecil.

“Gue bilang stop. Jangan ngomong seolah kita nggak bakal ketemu lagi,” Niko menjitak kepala Miya pelan.

“Siapa yang mulai ngintip-ngintip bayangan orang seolah-olah kita nggak bakal ketemu lagi?” balas Miya.

“Miyako Ried…” Niko berseru gemas.

“Hahaha… Easy, Nik. It’ll be another day I conquer, trust me,” Miya mengacungkan jempolnya.

Niko mengangguk. Miya yang dikenalnya selalu seperti ini, memilih menghibur orang alih-alih dihibur, tertawa daripada menangis. Tapi yang paling Niko suka dari sahabatnya adalah, ia selalu lebih memilih menang alih-alih kalah.

picturetakenfrom:weheartit.com

No comments:

Post a Comment