Misalnya,
di dalam sebuah kelas saat hasil ujian dibagikan. Hanya ada satu dari empat
puluh siswa yang lulus, dan itu pun hanya dengan nilai pas-pasan—anggaplah 60.
Lalu, apakah berarti ke-tiga puluh sembilan siswa sisanya boleh bernapas lega
atas nilai mereka yang jelek? Toh, semua
orang juga dapat nilai jelek. Masih
mending saya dapat 50, daripada yang lain, banyak yang dapat 40. Dengan
keadaan seperti itu, apakah lantas berarti mendapat nilai jelek adalah wajar?
Apakah nilai 50 lalu menjadi nilai yang ‘bagus’?
Kalau
hampir semua orang mendownload lagu dan film bajakan, lalu apakah tindakan
tersebut menjadi ‘biasa-biasa’ aja? Mungkin kita tetap tidak akan menyebutnya
legal, tapi kita berhenti menganggapnya salah. Toh, semua orang melakukan hal yang sama.
Lalu,
kalau semua orang berbohong, artinya kita juga boleh? Artinya bohong jadi
manusiawi?
Here we are, compromising things, making
excuse for whatever we do wrong. Getting
numb.
‘Nggak
apa-apa dapat nilai jelek, toh semuanya juga gitu. Siapa suruh gurunya
ngajarnya nggak jelas.’
‘Nggak
apa-apa download yang bajakan. Yang asli mahal banget sih. Lagian semua juga
gitu kan?’
‘Bohong
mah biasa—common mistakes. Everybody lies. Toh, gue nggak bohong
yang sampai gimana-gimana banget.’
Benar
salah itu patokannya apa sih? Siapa yang berhak mengatakan sebuah tindakan
buruk yang biasa dilakukan semua orang jadi ‘biasa-biasa’ aja?
Beranikah
kita berkata seperti ini:
‘Nilai
50 itu jelek, bahkan kalau nilai tertingginya 51 sekali pun. Kalau gurunya
nggak jelas, ya belajar sendiri dong, atau tanya sama gurunya.’
‘Download
film atau lagu bajakan itu salah. Nggak boleh. Semahal apa pun yang original,
pembuatnya tetap berhak mendapatkan kredit atas karya mereka kan?’
‘Bohong
itu dosa. Nggak peduli seluruh dunia melakukannya. Nggak peduli seberapa kecil
itu menurut kita.’
Saya
nulis ini juga masih belum bisa menerapkannya kok. I’m still compromising maaaaaany things.
No comments:
Post a Comment