Aku
tertawa.
Kamu
diam.
Aku
masih tertawa, sambil sesekali menyeka air mataku.
Lagi-lagi
kamu bergeming. Hanya menatapku. Aku bahkan tidak bisa membaca arti sorotmu
itu.
Tawaku
mereda, namun masih terdengar sisanya.
Pelan…
pelan… hingga akhirnya berhenti.
Hening.
Kita sama-sama diam.
Aku
menunggumu mengatakan sesuatu. Mengomel tentang betapa bodohnya aku, atau
menertawai nasibku yang benar-benar sial. Tapi tidak sepatah kata pun kamu
ucapkan. Kenapa?
Aku
menatapmu.
“Menangislah,”
katamu akhirnya.
Aku
memandangmu bingung. Saat orang-orang lain berkata jangan menangisi yang sudah
terjadi, mengapa kamu mengatakan sebaliknya?
“Menangislah,”
kamu berkata lagi. Kali ini sambil membelai kepalaku lembut. Aneh. Sentuhanmu
seolah mengenai lukaku. Sakit. Tenggorokanku tercekat. Aku menunduk
dalam-dalam.
Kamu
menarikku ke dalam pelukanmu.
Air
mata mulai menggenang di pelupuk mataku.
Kamu
diam, hanya mengelus punggungku. Menungguku mengeluarkan apa yang selama ini
aku sembunyikan.
Perlahan
air mataku meluruh. Aku mulai terisak, hingga akhirnya menangis tersedu-sedu.
“Bodohnya
aku… Percaya pada laki-laki seperti itu… Harusnya aku mempercayaimu… Harusnya
aku tidak terlalu mudah jatuh cinta…” tuturku dengan napas putus-putus,”Ini
semua salahku…”
“Tidak
pernah ada kata salah dalam hidup,” kamu mengurai pelukanmu dan menatapku
dalam,”Kamu hari ini adalah hasil kesalahanmu yang dulu. Air matamu hari ini
akan membuatmu menjadi lebih baik”.
No comments:
Post a Comment