Tuesday, March 13, 2012

Kedai Buku

Toko itu kecil. Terletak di sudut jalan dan jarang diperhatikan orang. Mengingatkanku pada diriku sendiri.

Aku tersenyum miris sambil menyeberang jalan.

Pertama kali aku melewati toko itu aku langsung terpaku di depannya. Tumpukan buku-buku tua yang berantakan membuat aku tersedot kedalamnya.
Aku tidak bisa berhenti sebelum masuk dan membuka sebuah buku dari lemari berdebu yang nampak reyot.
Tempat itu bagai gua harta karun yang menunggu untuk dijelajahi.

“Hatchiiii!”Aku buru-buru menutup hidung.

“Johann Wolfgang von Goethe,” sebuah suara laki-laki membuatku menoleh. Aku tersenyum menyambutnya, putra pemilik toko buku tua ini,”The Sorrows of Young Werther”. Ia melirik buku yang baru saja kuambil.

“Perlu ini?” ia bertanya sambil menyodorkan sebuah masker.

Aku menggeleng,”Terima kasih, tapi kalau pakai itu wangi bukunya jadi tidak tercium”.

Ia tertawa kecil,”Dasar aneh”.

“Semua orang menganggapku begitu,” kataku cuek, lalu duduk di sebuah sofa hijau.

War and peace-nya sudah selesai?” ia duduk di hadapanku. Dengan kami berdua duduk berhadapan seperti sekarang, lorong di toko buku ini sudah tidak bisa dilalui siapa pun, tapi siapa yang peduli? Toko buku ini tidak pernah mendapat lebih dari sepuluh pengunjung setiap harinya.

“Bagaimana aku bisa berhenti membaca karya Leo Tolstoy?” aku mengeluarkan sebuah buku dari tas dan menyerahkannya pada si pemilik,”Terima kasih”.

“Great expectations? Dickens?” ia menawarkan buku bagus lain untuk dipinjam.

“Sudah pernah baca, aku penggemar fanatik Charles Dickens tahu? Christmas Carol, Little Dorrit, David Copperfield, Oliver Twist, I have almost all of his books”.

“Emma, ada?” aku bertanya.

“Jane Austen? Ternyata ada juga sastra terkenal yang belum kamu baca,” ia tersenyum, lalu beranjak dari tempatnya,”Sebentar”.

Lima menit kemudian ia kembali dengan sebuah buku yang disampul rapi. “Ini punyaku sendiri.”

Aku mengambilnya.

“Kamu boleh meminjamnya selama yang kamu mau,” ia menambahkan, lalu kembali duduk ditempatnya dan meraih sebuah buku untuk dibaca.

“Twilight?” aku mengernyit saat melihat buku yang dipegangnya.

“Kenapa?” ia menatapku jenaka.

Aku teringat pertemuan pertama kami, saat aku pertama kalinya masuk ke toko ini. “Kalau kamu mencari Twilight atau Breaking Dawn di sini tidak ada,” katanya dengan nada meremehkan saat aku melihat-lihat isi lemari.

“Bagaimana kalau aku mencari Les Misérables?” aku menarik sebuah buku yang terlihat usang.

“Oh, selera yang aneh,” gumamnya.

“Apa?” tanyaku pura-pura tidak mendengar.

“Tidak, kamu tidak membaca karya-karya Stephenie Meyer?” ia nampak heran, namun nadanya berubah ramah.

“Baca. Tapi, Anna Karenina jauh lebih menarik bagiku,” aku tersenyum,”Kamu sendiri? Pernah membaca Twilight?”

“Tidak,” ia mengangkat bahu,”Tidak tertarik. Bagaimana aku bisa tertarik, kalau aku dikelilingi karya-karya terhebat sepanjang masa?”

”Sekali-kali kamu harus baca serial Twilight, itu karya yang bagus”. Aku tertawa lalu meninggalkannya.

Sejak hari itu aku rajin mampir ke sini, membaca buku selama berjam-jam dan ia selalu menemaniku.

"Twilight bagus juga," ia berkomentar, lalu melanjutkan membaca.

Aku tersenyum kecil.

Mungkin bukan hanya buku yang membuatku kembali ke toko ini lagi dan lagi, tapi kehadirannya.

Sosoknya diantara buku-buku yang hampir dilupakan, perbincangan kami seputar literatur, dan penerimaannya.

Aku tenggelam dalam kehadirannya dan sastra-sastra klasik. Anggap aku aneh. Aku tidak peduli.

Aku merasa nyaman di sini, di sebelahnya.

picturetakenfrom:weheartit.com

No comments:

Post a Comment