Aku tersenyum miris sambil menyeberang jalan.
Pertama kali aku melewati toko itu aku langsung terpaku di
depannya. Tumpukan buku-buku tua yang berantakan membuat aku tersedot
kedalamnya.
Aku tidak bisa berhenti sebelum masuk dan membuka sebuah
buku dari lemari berdebu yang nampak reyot.
Tempat itu bagai gua harta karun yang menunggu untuk
dijelajahi.
“Hatchiiii!”Aku buru-buru menutup hidung.
“Johann Wolfgang von Goethe,” sebuah suara laki-laki
membuatku menoleh. Aku tersenyum menyambutnya, putra pemilik toko buku tua
ini,”The Sorrows of Young Werther”. Ia melirik buku yang baru saja kuambil.
“Perlu ini?” ia bertanya sambil menyodorkan sebuah masker.
Aku menggeleng,”Terima kasih, tapi kalau pakai itu wangi
bukunya jadi tidak tercium”.
Ia tertawa kecil,”Dasar aneh”.
“Semua orang menganggapku begitu,” kataku cuek, lalu duduk
di sebuah sofa hijau.
“War and peace-nya
sudah selesai?” ia duduk di hadapanku. Dengan kami berdua duduk berhadapan
seperti sekarang, lorong di toko buku ini sudah tidak bisa dilalui siapa pun,
tapi siapa yang peduli? Toko buku ini tidak pernah mendapat lebih dari sepuluh
pengunjung setiap harinya.
“Bagaimana aku bisa berhenti membaca karya Leo Tolstoy?” aku
mengeluarkan sebuah buku dari tas dan menyerahkannya pada si pemilik,”Terima
kasih”.
“Great expectations? Dickens?” ia menawarkan buku bagus lain
untuk dipinjam.
“Sudah pernah baca, aku penggemar fanatik Charles Dickens
tahu? Christmas Carol, Little Dorrit, David Copperfield, Oliver Twist, I have almost all of his books”.
“Emma, ada?” aku bertanya.
“Jane Austen? Ternyata ada juga sastra terkenal yang belum
kamu baca,” ia tersenyum, lalu beranjak dari tempatnya,”Sebentar”.
Lima menit kemudian ia kembali dengan sebuah buku yang
disampul rapi. “Ini punyaku sendiri.”
Aku mengambilnya.
“Kamu boleh meminjamnya selama yang kamu mau,” ia menambahkan, lalu kembali duduk ditempatnya dan meraih sebuah buku untuk dibaca.
“Twilight?” aku mengernyit saat melihat buku yang
dipegangnya.
“Kenapa?” ia menatapku jenaka.
Aku teringat pertemuan pertama kami, saat aku pertama
kalinya masuk ke toko ini. “Kalau kamu mencari Twilight atau Breaking Dawn di
sini tidak ada,” katanya dengan nada meremehkan saat aku melihat-lihat isi
lemari.
“Bagaimana kalau aku mencari Les Misérables?” aku menarik
sebuah buku yang terlihat usang.
“Oh, selera yang aneh,” gumamnya.
“Apa?” tanyaku pura-pura tidak mendengar.
“Tidak, kamu tidak membaca karya-karya Stephenie Meyer?” ia
nampak heran, namun nadanya berubah ramah.
“Baca. Tapi, Anna Karenina jauh lebih menarik bagiku,” aku
tersenyum,”Kamu sendiri? Pernah membaca Twilight?”
“Tidak,” ia mengangkat bahu,”Tidak tertarik. Bagaimana aku
bisa tertarik, kalau aku dikelilingi karya-karya terhebat sepanjang masa?”
”Sekali-kali kamu harus baca serial Twilight, itu karya yang
bagus”. Aku tertawa lalu meninggalkannya.
Sejak hari itu aku rajin mampir ke sini, membaca buku selama
berjam-jam dan ia selalu menemaniku.
"Twilight bagus juga," ia berkomentar, lalu melanjutkan membaca.
Aku tersenyum kecil.
Mungkin bukan hanya buku yang membuatku kembali ke toko ini lagi dan lagi, tapi kehadirannya.
Sosoknya diantara buku-buku yang hampir dilupakan, perbincangan kami seputar
literatur, dan penerimaannya.
Aku tenggelam dalam kehadirannya dan sastra-sastra klasik. Anggap aku aneh. Aku tidak peduli.
Aku merasa nyaman di sini, di sebelahnya.
picturetakenfrom:weheartit.com |
No comments:
Post a Comment