Monday, July 1, 2013

Dari, Hujan Bulan Juni


Sepagi ini dan aku sudah duduk di tepi jendela dengan segelas coklat panas di tangan. Bau kopi yang sedang digiling barista di konter menguar ke seluruh ruangan. Aku selalu suka aroma kopi, tapi sayangnya tidak pernah bisa menenggak secangkir penuh minuman tersebut. ‘Sok gegayaaan aja nongkrong di coffee shop, padahal yang dipesan hazelnut chocolate,’ begitu kamu selalu berkomentar.

Lalu ada kamu, yang tidak pernah bisa hidup sehari saja tanpa kopi. Kadang aku iri dengan lambung dan jantungmu yang begitu kuat terhadap kafein.

Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela, beberapa anak kuliahan lalu lalang menyeberangi jalan yang memisahkan kedai kopi ini dengan kampus seberang. Beberapa membawa gulungan kertas besar, dan beberapa membawa tumpukan buku tebal yang lagi-lagi mengingatkan aku padamu.

Awan mendung mulai berarak di langit. Heran. Ini bulan Juni dan hujan masih saja belum bosan mengguyuri ibu kota. Dan fenomena aneh ini juga mengingatkanku tentangmu.

Hujan bulan Juni.

Kamu bilang puisi Sapardi itu omong kosong. “Mana ada hujan di bulan Juni?” begitu kamu selalu berkata sambil tertawa kecil.

Tapi sekarang bulan Juni. Dan di luar hujan menerjang bumi sambil menertawakan logikamu. Sayangnya mereka terlambat satu tahun untuk membuktikan padamu bahwa kamu tidak cukup pintar untuk mengritik puisi milik Sapardi.

Aku meneguk coklat panasku banyak-banyak. Berharap kamu masih di sini. Menyaksikan hujan bulan Juni. Mengaku kalah. Mengaku salah. Mengaku  bahwa hujan bulan juni memang benar ada.

No comments:

Post a Comment