Sepagi ini dan aku sudah duduk di tepi jendela dengan
segelas coklat panas di tangan. Bau kopi yang sedang digiling barista di konter
menguar ke seluruh ruangan. Aku selalu suka aroma kopi, tapi sayangnya tidak
pernah bisa menenggak secangkir penuh minuman tersebut. ‘Sok gegayaaan aja
nongkrong di coffee shop, padahal
yang dipesan hazelnut chocolate,’
begitu kamu selalu berkomentar.
Lalu ada kamu, yang tidak pernah bisa hidup sehari saja
tanpa kopi. Kadang aku iri dengan lambung dan jantungmu yang begitu kuat
terhadap kafein.
Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela, beberapa anak
kuliahan lalu lalang menyeberangi jalan yang memisahkan kedai kopi ini dengan
kampus seberang. Beberapa membawa gulungan kertas besar, dan beberapa membawa
tumpukan buku tebal yang lagi-lagi mengingatkan aku padamu.
Awan mendung mulai berarak di langit. Heran. Ini bulan Juni
dan hujan masih saja belum bosan mengguyuri ibu kota. Dan fenomena aneh ini
juga mengingatkanku tentangmu.
Hujan bulan Juni.
Kamu bilang puisi Sapardi itu omong kosong. “Mana ada hujan
di bulan Juni?” begitu kamu selalu berkata sambil tertawa kecil.
Tapi sekarang bulan Juni. Dan di luar hujan menerjang bumi
sambil menertawakan logikamu. Sayangnya mereka terlambat satu tahun untuk
membuktikan padamu bahwa kamu tidak cukup pintar untuk mengritik puisi milik
Sapardi.
Aku meneguk coklat panasku banyak-banyak. Berharap kamu
masih di sini. Menyaksikan hujan bulan Juni. Mengaku kalah. Mengaku salah.
Mengaku bahwa hujan bulan juni memang
benar ada.
No comments:
Post a Comment