“Gimana sama si itu? Masih ngedeketin lo?”
“Dia
udah nggak pernah nelpon, jarang sms, udah jarang nanya kabar juga”.
“Oh…”
“Tapi
kenapa ya? Padahal gue nggak suka dia, tapi begitu dia berhenti ngejar gue, gue
merasa ada sesuatu yang hilang. Like, a
little bit disappointed. Padahal, harusnya gue lega kan?”
“Wajar, kan? Namanya juga disayang. Siapa
sih yang nggak suka dikasihi—diperhatiin, dipeduliin? Jadi, gue rasa wajar
banget kalau lo merasa kehilangan”.
“Iya
sih…”
“Tapi…”
“Tapi
apa?”
“Gue jadi mikir. Kalau gitu berarti selama
ini dia nggak buang-buang waktu dong ya ngedeketin lo?”
“Gue
ama dia kan nggak jadian, jadi gimana bisa dibilang nggak buang-buang waktu?
Dari sudut pandang dia, it’s definitely a
waste of time”.
“Tapi, dia bikin lo bahagia. Even cuma sebentar, even dianya nggak sadar, he’ve
made you happy. Dia udah bikin lo merasa dikasihi.”
“Iya
sih…”
“Love is definitely never fail, right?
Walau nggak sesuai yang dia harapkan, his
love is actually never fail. Coba kalau elo bisa ngasih tahu hal ini ke dia, dia
pasti seneng deh”.
“Nggak
mungkin, ah. Nanti kalau dianya salah paham gue jadi ngasih harapan palsu
dong”.
“Iya juga ya. Tapi, kalau dipikir-pikir, you loves him, right?”
“Kalau
gue sayang dia, kita udah jadian”
“Not
that kind of love, love. Elo nggak mau nyakitin dia dengan nggak ngasih
harapan palsu, dengan menghindari dia saat dia ngedeketin lo, gue rasa itu cara
lo mengasihi dia”.
“Well, kalau itu definisi elo tentang
cinta. Yes, I love him. But as you said
earlier, not that kind of love, love.”
“Tapi, menurut gue kalian cocok loh.
Serasi. Nggak mau pikir-pikir lagi? Nggak mau didoain dulu? Haha… “
“…”
Tadinya
nggak mau nulis ini sih, tapi entah kenapa dari semalam percakapan ini
terngiang-ngiang terus, hehe.. Percakapan yang terjadi, satu tahun lalu? Atau
dua tahun mungkin? Saya nggak ingat. Percakapannya nggak sepanjang ini sih, but in my head this conversation continued
:P
No comments:
Post a Comment