picturetakenfrom:weheartit.com |
Jakarta,
17.30
Hujan
rintik-rintik membasahi bulan Juli. Kiara menyesap minuman hangatnya
pelan-pelan. Membiarkan uap yang mengepul memenuhi rongga hidungnya.
Kaftee
& Bun nampak lengang sore ini, hanya ada beberapa anak SMA yang duduk
bergerombol di sudut ruangan dan sepasang suami istri yang sedang bertukar
cerita. Kecintaannya terhadap tempat ini masih sama, tidak berubah, sama
seperti satu tahun lalu saat terakhir kali ia datang ke sini bersama Deo.
“Gue berharap waktu berhenti,” Kiara
mengaduk-aduk chocolate milkshake-nya
yang nampak tidak menggiurkan saat ini. “Gue nggak pengen liburan selesai. Gue
nggak bisa ngebayangin pergi ke sekolah tanpa elo.”
“Enam tahun, Yo. Enam tahun gue sahabatan
sama lo, duduk sebangku, sekelompok bareng,” Kiara terus mengoceh sementara Deo
hanya duduk membiarkan sahabatnya menumpahkan seluruh kegelisahannya. “Dan
semua ini harus berakhir karena kita kuliah di tempat yang berbeda”.
“Kita kan bakal ketemu waktu liburan,” Deo
akhirnya angkat bicara.
“Kapan? Satu tahun lagi?” Nada Kiara naik
seoktaf,”Gue butuh elo sekarang. Gue takut, Yo. Gue takut masuk ke dalam
lingkungan baru yang nggak ada elo di dalamnya. I’m not good at being best
friend on the first day, remember?”
“Hei,” Deo mencari mata Kiara,”Elo tahu kita
nggak mungkin bareng selamanya, kan? I mean, things change, we are chasing our
dreams. Cepat atau lambat saat itu akan tiba. Dan pada saatnya nanti, you’ll
survive, Ra. I know it, trust me.”
“Oi,”
tepukan di punggung Kiara menariknya kembali ke masa kini. “Udah lama?”
“Anak
Amrik orangnya ngaret-ngaret ya?” Ada begitu banyak hal yang ingin
dikatakannya, tapi malah kalimat sinis itu yang meluncur dari bibirnya saat ia
melihat sahabatnya untuk pertama kali setelah satu tahun tidak bertemu.
“Sori,
Jakarta makin macet sih,” Deo duduk di hadapannya. sedikit lebih tinggi dari
yang terakhir diingat Kiara. “Whooaa, sekarang udah bisa minum kopi?”
“People change,” Kiara mengangkat cangkir
kopi miliknya dengan bangga. Dulu Deo selalu mengejeknya anak kecil gara-gara
ia tidak pernah bisa minum kopi.
Deo
diam sejenak, meneliti sahabatnya. “Setahun nggak ketemu, elo kelihatan…”
“Gendutan?”
Kiara menaikkan kedua alisnya.
“Nope. Tougher. Independen,” Deo nyengir.
“Really?”
“Dateng
ke sini naik angkutan umum dan rela nungguin gue sendirian di sini? The old Kiara won’t do that. Kiara yang
dulu pasti udah misuh-misuh”.
“Di
Bandung kemana-mana gue mesti naik angkutan umum, Yo,” Kiara menerangkan.
“Told ya, you’ll survive,” Deo tersenyum boyish. “Jadi, ada cerita apa aja?”
“Banyak
bangeeet,” mata Kiara berbinar excited.
“Good. Gue juga punya banyak cerita. Dan
kita punya waktu sepanjang malam untuk itu,” balas Deo. “Mau mulai dari yang
ringan atau yang serius dulu?”
“Ringan,”
jawab Kiara cepat.
“Oke.
Elo dulu kalau gitu. Apa cerita pertama lo?”
“I miss you, Yo!” Kiara nyengir, lalu
mereka berdua tertawa lepas. “It’s really
good to see you again”.
Once
in a year, it’ll be today. We are sitting face to face. Meeting up. Catching
up. Like a migration pattern of the birds on the sky, we are going home from a
long journey. Sharing stories and laughter. And when the time is up, we’ll fly.
Going back into another journey. To be tougher than before, to create another
stories to tell for the next season when we meet again. And it’s always good to
be back, to see your face once again. To hear your voice. To listen to you and
laugh with you. To rest my wings on you, before I fly again.
No comments:
Post a Comment