“Kalau keluarga yang lo maksud adalah sebuah kesatuan yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan saudara kandung, yes, I do have one. Tapi kalau keluarga yang lo maksud adalah sebuah tempat di mana gue bisa merasakan rumah dan saling berbagi, no, I don’t have, I never have it.”—Hanna
Nama gue Hanna. Dan gue adalah orang terakhir yang bisa lo
tanya tentang apa arti keluarga. Kenapa? Karena gue nggak punya itu, dan gue
nggak bisa mendefinisikannya dengan bahasa gue sendiri.
Buat gue rumah itu adalah barang mewah. Bukan. Bukan karena
rumah gue bertingkat empat dan terletak di kawasan elit Jakarta. Bukan karena
mobil di rumah gue ada tiga dan rumah gue dijaga satpam. I’m talking about ‘home’ here not ‘house’.
Home for me is a
luxury, simply because I can’t afford it. Gue bisa aja beli barang-barang
mewah, pasang sistem audio paling bagus di kamar gue, belanja fashion item branded tiap hari, beli iPhone 5 di hari pertama benda itu launching, tapi gue tetep nggak akan
bisa ngebeli bokap nyokap gue.
Gue nggak bisa beli ‘hati’ mereka. They are not affordable. Dan gue sadar, ternyata hal-hal paling
mahal di dunia ini bukan benda. Orang-orang paling kaya di dunia ini bukan
mereka yang punya pulau pribadi atau bisa keliling dunia atau punya koleksi
Ferrari. The rich is they who can have
what money can’t buy.
Nyokap gue, dengan agenda sosialnya yang ngalahin Ibu
Presiden. Gue nggak ngerti apa aja kerjaannya di luar sana, Gala dinner, launching produk
inilah-itulah, charity lembaga ini
dan itu. Gue bertanya-tanya, apa charity nyokap
gue masih bisa disebut amal kalau ia sendiri nggak bisa nyumbang waktu buat
anaknya.
Kadang gue bahkan yakin, nyokap gue lupa punya anak
perempuan yang namanya Hanna. Yang sekarang kuliah jurusan komunikasi tahun
kedua dan IP-nya nyaris tiarap.
Nyokap bahkan nggak pernah ada untuk sekadar ngomelin gue
soal nilai. Kadang gue ngiri sama anak-anak lain yang bisa ngeluh tentang
betapa nyebelinnya omelan orang tua mereka. Atau betapa malunya mereka masih di
cium pipi kanan kiri sama nyokap. Gue pengen banget bisa ngerasain hal-hal yang
kata orang menjengkelkan itu.
Bokap? Nggak jauh beda. Gue bahkan nggak ingat kapan
terakhir kali gue ngomong sama dia. Tiga hari lalu? Seminggu lalu? Dua minggu?
Apa yang gue bilang? ‘Hai?’ ‘Udah makan?’ ‘Pa?’ Entahlah.
Bokap cuma jadi sumber dana buat gue. They say father is a girl’s first hero and boyfriend. Buat gue itu
omong kosong. Bokap nggak pernah ada buat ngawasin gue saat gue pacaran untuk
pertama kali, bokap bahkan nggak tahu gue udah pacaran lebih dari lima kali.
Gue berani taruhan dia juga nggak inget ulang tahun gue.
Buat mereka gue cuma lahir di hari-hari pertama pernikahan
mereka. Foto gue bareng mereka bisa dihitung pake jari. Satu di rumah sakit
waktu gue baru lahir, lalu pas gue dibaptis, kemudian pas ulang tahun
pernikahan emas Oma dan Opa, waktu Abang wisudaan, sama waktu di studio untuk
bikin foto keluarga yang bisa dipajang di ruang tamu.
Gue bisa aja kuliah di luar negeri. Tapi demi kesempatan
yang sedikit untuk ketemu mereka gue milih stuck
di rumah dingin ini. Tentu saja mereka nggak pernah menyadari alasan gue
itu.
Kadang gue heran, apa susahnya sih ngeluangin waktu seminggu
atau sebulan sekali untuk duduk bareng di meja makan? Untuk ceritain gimana
hari bokap di kantor dan nyokap dengan teman-teman sosialitanya itu. Untuk
sekadar ngeliat apa gue baik-baik aja, masih hidup dan nggak kena narkoba kayak
anak-anak broken home lainnya.
Family should stick
together, right? Pada titik ini gue nggak tahu lagi mana yang keluarga gue.
Orang tua biologis gue dan Abang yang milih kabur ke Belanda, atau teman-teman
nge-band gue yang biasa gue ajak line-up di On Ground tiap weekend. Mungkin yang terakhir. Mungkin
gue emang ditakdirkan untuk nggak pernah mengalami apa yang namanya ‘pulang’.
Mungkin gue emang dilahirkan untuk nggak memilik rumah. I don’t know if you can call me a homeless or not.
cool... and to be continue ya?
ReplyDeleteThanks.. Don't know, belum kepikiran, hehe..
Delete