Monday, October 22, 2012

Untitled 4


“Ngerti nggak?” Jan mengangkat pandangan dari kertas soal di hadapannya.
Denza mengetuk-ngetukan pen di meja. “Jadi kalau Y sama dengan sin x pangkat cos x, Ln Y sama dengan cos x Ln sin x kan? Jadinya Y’ per Y sama dengan sin x Ln sin x ditambah cos kuadrat x—“
minus sin x Ln sin x ditambah cos kuadrat x,” ralat Jan sambil menyeruput caramel macchiatonya. Suasana Kaftee & Bun Sabtu siang seperti ini enak banget. Nggak terlalu ramai karena orang-orang kebanyakan lebih milih hangout di mal daripada di kedai yang udah jadi makanan sehari-hari mereka kalau pulang sekolah, kuliah, atau bahkan ngantor.
“Oh ya, ada minus di depannya,” Denza menambahkan dengan pensil,”Geez, how could it be so damn difficult? We won’t use this in real life anyway” Sinar matahari yang masuk melalui jendela di sebelahnya menimbulkan sensasi hangat di kulit. Kalau aja besok nggak ada try out super menyebalkan dari sekolah, ia pasti sudah ngajak Jan berhenti dari satu jam yang lalu.
“This is real life, Denza. Elo sedang menjalaninya,” Jawab Jan.
“Maksud gue nanti kalau udah gede. Elo kan nggak mungkin kerja sambil ngitungin Ln sin cos kayak gini,” Denza meneguk gelas ketiga oreo milkshakenya. Belajar seperti ini benar-benar menguras energi dan mau nggak mau ia jadi harus memesan lebih banyak asupan makanan yang ia yakin pasti cuma akan menambah tumpukan lemak di tubuhnya.
“Elo sih kebanyakan nyontek, jadi mati gaya deh kalau ketemu angka,” Jan tertawa.
“Siapa yang nyontek?” Denza merasa tersinggung.
“Ingatan fotografis lo itu,” Jan menunjuk pelipisnya,”Curang banget bisa inget satu buku di otak. Technically it’s called cheating, you know?”
“Technically it’s called memorizing, I believe. Part of God’s grace,” Denza nyengir.
”Tapi hidup itu adil kok,” Jan menunjuk kertas berisi deretan angka dan rumus yang udah bikin kepala sahabatnya keriting dua jam belakangan ini.
“Otak fotografis gue sama sekali nggak didesain buat ngerjain matematika, fisika, ama hitungan kimia,” Denza menimpali,”Atau elo yang terlalu sempurna, Ga? Kok elo bisa sih jadi juara umum tiap semester tanpa ingatan fotografis?”
“Ingatan fotografis bukan segalanya tau,” Jan menyentil dahi sahabatnya,”Berapa banyak orang yang punya kemampuan itu? Berapa banyak  juga orang yang berhasil tanpa kemampuan itu?”
Denza memikirkan ucapan sahabatnya. Bukan ingatan fotografis yang membuatnya spesial, tapi bagaimana ia menggunakannya, itu yang menjadikannya berharga, begitu Ibu pernah berkata.
“Tapi elo beruntung,” Jan melanjutkan,”You can treasure all of the good memories in life.”
“…Za. Za… Denza!” Nadin melambaikan tangan di depan sahabatnya,”Elo dengerin gue nggak sih?”
“Iya, iya,” Denza memfokuskan kembali pandangannya pada Nadin sambil memaksakan seulas senyum,”Intinya elo baru nemu another hot guy di kampus lo kan? Selamat ya, akhirnya masa jomblo lo bakal berakhir juga!”
Nadin menatap sahabatnya lekat, lebih pada pandangan khawatir daripada kesal karena ternyata Denza tidak mendengar ocehan panjang lebarnya. ”Gue udah pindah topik ke dosen gue yang genit, Denza. Elo kenapa? Ada masalah apa lagi? Masih soal Ja—“
“Jangan sebut nama itu,” potong Denza ketus,”Jangan ngomong seolah-olah elo kenal dia. Elo nggak inget kan siapa dia?”
“Nggak ada yang inget dia, Denza. Nggak seorang pun kecuali elo”.
Denza membuang pandangan keluar jendela Kaftee & Bun yang basah akibat hujan sejak satu jam lalu. Ia jengah ditatap seperti itu oleh sahabatnya sendiri. Selalu tatapan itu yang ditunjukkan Nadin saat mereka membahas masalah yang sama—tidak percaya, kasihan, seolah-olah ia yang sakit. “Gue nggak gila, Nadin,” tutur Denza dingin.
“Gue nggak pernah bilang elo gila,” Nadin membetulkan posisi duduknya dengan gusar, ia paling benci membahas topik ini dengan Denza. Topik yang selalu mati-matian dihindarinya sebisa mungkin.
“Elo nggak usah nggak enak ama gue,” Denza tersenyum sinis,”Gue tahu kok apa yang kalian pikirin tentang gue selama ini. Bahkan nyokap selalu ngelihat gue dengan pandangan seolah-olah gue pasien rumah sakit jiwa yang bisa kumat kapan aja”.
“Denza…” Nadin meraih pergelangan tangan sahabatnya,”Nggak ada yang berpikiran seperti itu. Elo harus percaya gue”.
“Kenapa?” Denza menepis tangan Nadin. ”Karena elo sahabat gue? Karena elo orang terdekat gue? Gimana dengan elo? Apa elo percaya sama gue? Apa elo pernah berpikir kalau gue benar?” Suara Denza bergetar dan matanya mulai terasa panas.
Nadin ingin mengatakan sesuatu, tapi lidahnya terasa kelu. Melihat sahabatnya terluka seperti ini, meragukan dirinya sendiri, adalah hal terakhir yang ingin dilihatnya.
“Kenapa Nadin? Elo nggak bisa menyangkal kan? Karena elo memang nggak pernah percaya gue selama ini kan?”
“Den—“
“Pergi,” bisik Denza sambil menunduk dalam-dalam,”Please. Gue pengen sendiri”.
“Denza…”
“Maaf,” bisik Denza lagi,”Maaf”.
Nadin membereskan tasnya, lalu beranjak dari sana,”Telpon gue kalau elo udah tenang. Take care”.
Lagu Fix You dari Coldplay berputar dari ponsel Denza begitu Nadin menghilang di balik pintu. Ia kenal betul lagu itu, hapal setiap liriknya. Ini lagu mereka: Denza dan Jan. Lagu yang menjadi favorit keduanya. Lagu yang sanggup memutar seluruh kenangan manis dan pahit dalam persahabatan mereka. Denza ingat Jan pernah bercanda meminta Denza menyanyikan lagu ini untuknya kalau ia menikah nanti.
Denza mengeluarkan ponselnya. 1 Reminder: Jan’s Birthday. 18 Desember. 7 hari sebelum Natal. Pukul 5.30 sore. Mereka selalu merayakan ulang tahun Jan tepat pada jam lahirnya. “Biar lebih afdol,” Jan selalu beralasan. Denza memejamkan mata, membayangkan Jan berada di hadapannya. Duduk bersamanya, bercerita tentang banyak hal, tertawa saat ia meniup lilin ulang tahunnya.
Denza menancapkan sebatang lilin pada cupcake yang dipesannya sejak tadi kemudian menyalakannya.
Lilin itu indah ya. Kelihatan rapuh sekaligus kuat. Sebuah kalimat yang pernah dilontarkan Jan tergiang begitu saja. Kayak manusia.
“Selamat ulang tahun… Jan,” Denza meniup lilin di hadapannya.
Kepulan asap tipis berwarna kelabu melayang di udara. Denza tidak tahu berapa lama lagi ia dapat bertahan. Menjadi kuat dalam hatinya yang kian rapuh. 8 bulan. Bukan waktu yang lama, tapi juga tidak sebentar. Apalagi ketika seluruh dunia meragukan dirimu. Pada suatu titik Denza sadar ia tidak lagi mempercayai dirinya seluruhnya. Ia hampir menyerah, sama seperti asap abu-abu yang kini sudah tidak terlihat lagi. Bahkan ingatan fotografisnya tidak mampu meyakinkan dirinya sendiri. Semua kenangan tentang Jan, setiap detil tentang dirinya yang terekam kuat dalam memorinya, kini mengabur seiring dengan ketidakpercayaan orang-orang akan dirinya. Denza tidak tahu, apa orang yang tidak pernah ada dalam ingatan orang lain kecuali dirinya dapat dikatakan pernah hidup? Apa Jan Adisatya memang benar-benar pernah ada? Atau semua hanya permainan pikirannya?
You can treasure all of the good memories in life.
Tapi apa artinya kalau kita nggak punya seseorang untuk berbagi kenangan itu? Apa bagusnya kalau kita nggak bisa tertawa atau menangis bersama orang yang sama-sama memiliki kenangan tersebut?
“Permisi, Mbak,” seorang pelayan menghampiri meja Denza. “Ada titipan,” wanita bercelemek marun itu menyodorkan sebuah kotak kecil berwarna krem.
Jantung Denza berdebar cepat. Benda yang tergeletak manis di mejanya adalah kotak yang sama dengan yang pernah diberikan Jan di malam ulang tahunnya. Kotak berpita merah muda yang sama dengan kotak yang ikut menghilang di hari Jan menghilang. Kotak yang tidak pernah ia buka dan tidak pernah ia ketahui isinya.
Jan. Berarti Jan ada di sini?
Mata Denza dengan cepat menyapu seluruh ruangan. Mulai dari tengah, hingga ke sudut-sudut yang jarang di tempati orang.
“Mbak,” Denza menghampiri pelayan yang tadi mengantarkan kotak tersebut,”Yang nitip kotak ini siapa ya?”
“Oh,” bibir pelayan itu membentuk seulas senyum. ”Orang yang ada di meja itu—“ ia menunjuk sebuah meja di pinggir ruangan,”Loh kok udah nggak ada ya?”
Wajah Denza kehilangan warnanya,”Orangnya seperti apa ya, Mbak?”
“Laki-laki, pakai kacamata, usianya kira-kira empat puluhan, pakai setelan hitam, dan anehnya… pakai kacamata hitam juga,” pelayan itu berusaha mengingat-ingat,”Oh iya, orang itu punya bekas luka kira-kira dua cm di pipinya”.
Bukan Jan, Denza menyimpulkan. Ia menoleh keluar pintu kafe, namun jalanan di depannya nampak sepi. Siapa laki-laki aneh yang mengenakan kacamata hitam di dalam ruangan di hari mendung seperti ini? Tapi siapa pun orang itu, ia pasti tahu di mana Jan berada.

Read the previous:

No comments:

Post a Comment