“Ngerti
nggak?” Jan mengangkat pandangan dari kertas soal di hadapannya.
Denza
mengetuk-ngetukan pen di meja. “Jadi kalau Y sama dengan sin x pangkat cos x,
Ln Y sama dengan cos x Ln sin x kan? Jadinya Y’ per Y sama dengan sin x Ln sin
x ditambah cos kuadrat x—“
“minus
sin x Ln sin x ditambah cos kuadrat x,”
ralat Jan sambil menyeruput caramel macchiatonya. Suasana Kaftee & Bun
Sabtu siang seperti ini enak banget. Nggak terlalu ramai karena orang-orang
kebanyakan lebih milih hangout di mal daripada di kedai yang udah jadi makanan
sehari-hari mereka kalau pulang sekolah, kuliah, atau bahkan ngantor.
“Oh ya,
ada minus di depannya,” Denza menambahkan dengan pensil,”Geez, how could it be
so damn difficult? We won’t use this in real life anyway” Sinar matahari yang
masuk melalui jendela di sebelahnya menimbulkan sensasi hangat di kulit. Kalau
aja besok nggak ada try out super menyebalkan dari sekolah, ia pasti sudah
ngajak Jan berhenti dari satu jam yang lalu.
“This
is real life, Denza. Elo sedang menjalaninya,” Jawab Jan.
“Maksud
gue nanti kalau udah gede. Elo kan nggak mungkin kerja sambil ngitungin Ln sin
cos kayak gini,” Denza meneguk gelas ketiga oreo milkshakenya. Belajar seperti
ini benar-benar menguras energi dan mau nggak mau ia jadi harus memesan lebih
banyak asupan makanan yang ia yakin pasti cuma akan menambah tumpukan lemak di
tubuhnya.
“Elo
sih kebanyakan nyontek, jadi mati gaya deh kalau ketemu angka,” Jan tertawa.
“Siapa
yang nyontek?” Denza merasa tersinggung.
“Ingatan
fotografis lo itu,” Jan menunjuk pelipisnya,”Curang banget bisa inget satu buku
di otak. Technically it’s called cheating, you know?”
“Technically
it’s called memorizing, I believe. Part of God’s grace,” Denza nyengir.
”Tapi
hidup itu adil kok,” Jan menunjuk kertas berisi deretan angka dan rumus yang
udah bikin kepala sahabatnya keriting dua jam belakangan ini.
“Otak
fotografis gue sama sekali nggak didesain buat ngerjain matematika, fisika, ama
hitungan kimia,” Denza menimpali,”Atau elo yang terlalu sempurna, Ga? Kok elo
bisa sih jadi juara umum tiap semester tanpa ingatan fotografis?”
“Ingatan
fotografis bukan segalanya tau,” Jan menyentil dahi sahabatnya,”Berapa banyak
orang yang punya kemampuan itu? Berapa banyak
juga orang yang berhasil tanpa kemampuan itu?”
Denza
memikirkan ucapan sahabatnya. Bukan ingatan fotografis yang membuatnya spesial,
tapi bagaimana ia menggunakannya, itu yang menjadikannya berharga, begitu Ibu
pernah berkata.
“Tapi
elo beruntung,” Jan melanjutkan,”You can treasure all of the good memories in
life.”
“…Za. Za… Denza!” Nadin melambaikan tangan di
depan sahabatnya,”Elo dengerin gue nggak sih?”
“Iya, iya,” Denza memfokuskan kembali
pandangannya pada Nadin sambil memaksakan seulas senyum,”Intinya elo baru nemu another hot guy di kampus lo kan?
Selamat ya, akhirnya masa jomblo lo bakal berakhir juga!”
Nadin menatap sahabatnya lekat, lebih pada
pandangan khawatir daripada kesal karena ternyata Denza tidak mendengar ocehan
panjang lebarnya. ”Gue udah pindah topik ke dosen gue yang genit, Denza. Elo
kenapa? Ada masalah apa lagi? Masih soal Ja—“
“Jangan sebut nama itu,” potong Denza
ketus,”Jangan ngomong seolah-olah elo kenal dia. Elo nggak inget kan siapa
dia?”
“Nggak ada yang inget dia, Denza. Nggak
seorang pun kecuali elo”.
Denza membuang pandangan keluar jendela Kaftee
& Bun yang basah akibat hujan sejak satu jam lalu. Ia jengah ditatap
seperti itu oleh sahabatnya sendiri. Selalu tatapan itu yang ditunjukkan Nadin
saat mereka membahas masalah yang sama—tidak percaya, kasihan, seolah-olah ia
yang sakit. “Gue nggak gila, Nadin,” tutur Denza dingin.
“Gue nggak pernah bilang elo gila,” Nadin
membetulkan posisi duduknya dengan gusar, ia paling benci membahas topik ini
dengan Denza. Topik yang selalu mati-matian dihindarinya sebisa mungkin.
“Elo nggak usah nggak enak ama gue,” Denza
tersenyum sinis,”Gue tahu kok apa yang kalian pikirin tentang gue selama ini.
Bahkan nyokap selalu ngelihat gue dengan pandangan seolah-olah gue pasien rumah
sakit jiwa yang bisa kumat kapan aja”.
“Denza…” Nadin meraih pergelangan tangan
sahabatnya,”Nggak ada yang berpikiran seperti itu. Elo harus percaya gue”.
“Kenapa?” Denza menepis tangan Nadin. ”Karena
elo sahabat gue? Karena elo orang terdekat gue? Gimana dengan elo? Apa elo
percaya sama gue? Apa elo pernah
berpikir kalau gue benar?” Suara Denza bergetar dan matanya mulai terasa panas.
Nadin ingin mengatakan sesuatu, tapi lidahnya
terasa kelu. Melihat sahabatnya terluka seperti ini, meragukan dirinya sendiri,
adalah hal terakhir yang ingin dilihatnya.
“Kenapa Nadin? Elo nggak bisa menyangkal kan?
Karena elo memang nggak pernah percaya gue selama ini kan?”
“Den—“
“Pergi,” bisik Denza sambil menunduk
dalam-dalam,”Please. Gue pengen
sendiri”.
“Denza…”
“Maaf,” bisik Denza lagi,”Maaf”.
Nadin membereskan tasnya, lalu beranjak dari
sana,”Telpon gue kalau elo udah tenang. Take
care”.
Lagu Fix You dari Coldplay berputar dari
ponsel Denza begitu Nadin menghilang di balik pintu. Ia kenal betul lagu itu,
hapal setiap liriknya. Ini lagu mereka: Denza dan Jan. Lagu yang menjadi
favorit keduanya. Lagu yang sanggup memutar seluruh kenangan manis dan pahit
dalam persahabatan mereka. Denza ingat Jan pernah bercanda meminta Denza
menyanyikan lagu ini untuknya kalau ia menikah nanti.
Denza mengeluarkan ponselnya. 1 Reminder: Jan’s Birthday. 18 Desember. 7
hari sebelum Natal. Pukul 5.30 sore. Mereka selalu merayakan ulang tahun Jan
tepat pada jam lahirnya. “Biar lebih afdol,” Jan selalu beralasan. Denza
memejamkan mata, membayangkan Jan berada di hadapannya. Duduk bersamanya,
bercerita tentang banyak hal, tertawa saat ia meniup lilin ulang tahunnya.
Denza menancapkan sebatang lilin pada cupcake yang dipesannya sejak tadi
kemudian menyalakannya.
Lilin
itu indah ya. Kelihatan rapuh sekaligus kuat. Sebuah kalimat yang pernah
dilontarkan Jan tergiang begitu saja. Kayak
manusia.
“Selamat ulang tahun… Jan,” Denza meniup
lilin di hadapannya.
Kepulan asap tipis berwarna kelabu melayang
di udara. Denza tidak tahu berapa lama lagi ia dapat bertahan. Menjadi kuat
dalam hatinya yang kian rapuh. 8 bulan. Bukan waktu yang lama, tapi juga tidak
sebentar. Apalagi ketika seluruh dunia meragukan dirimu. Pada suatu titik Denza
sadar ia tidak lagi mempercayai dirinya seluruhnya. Ia hampir menyerah, sama seperti
asap abu-abu yang kini sudah tidak terlihat lagi. Bahkan ingatan fotografisnya
tidak mampu meyakinkan dirinya sendiri. Semua kenangan tentang Jan, setiap
detil tentang dirinya yang terekam kuat dalam memorinya, kini mengabur seiring
dengan ketidakpercayaan orang-orang akan dirinya. Denza tidak tahu, apa orang
yang tidak pernah ada dalam ingatan orang lain kecuali dirinya dapat dikatakan
pernah hidup? Apa Jan Adisatya memang benar-benar pernah ada? Atau semua hanya
permainan pikirannya?
You can
treasure all of the good memories in life.
Tapi apa artinya kalau kita nggak punya
seseorang untuk berbagi kenangan itu? Apa bagusnya kalau kita nggak bisa
tertawa atau menangis bersama orang yang sama-sama memiliki kenangan tersebut?
“Permisi, Mbak,” seorang pelayan menghampiri
meja Denza. “Ada titipan,” wanita bercelemek marun itu menyodorkan sebuah kotak
kecil berwarna krem.
Jantung Denza berdebar cepat. Benda yang
tergeletak manis di mejanya adalah kotak yang sama dengan yang pernah diberikan
Jan di malam ulang tahunnya. Kotak berpita merah muda yang sama dengan kotak
yang ikut menghilang di hari Jan menghilang. Kotak yang tidak pernah ia buka
dan tidak pernah ia ketahui isinya.
Jan. Berarti Jan ada di sini?
Mata Denza dengan cepat menyapu seluruh
ruangan. Mulai dari tengah, hingga ke sudut-sudut yang jarang di tempati orang.
“Mbak,” Denza menghampiri pelayan yang tadi
mengantarkan kotak tersebut,”Yang nitip kotak ini siapa ya?”
“Oh,” bibir pelayan itu membentuk seulas
senyum. ”Orang yang ada di meja itu—“ ia menunjuk sebuah meja di pinggir
ruangan,”Loh kok udah nggak ada ya?”
Wajah Denza kehilangan warnanya,”Orangnya seperti
apa ya, Mbak?”
“Laki-laki, pakai kacamata, usianya kira-kira
empat puluhan, pakai setelan hitam, dan anehnya… pakai kacamata hitam juga,”
pelayan itu berusaha mengingat-ingat,”Oh iya, orang itu punya bekas luka
kira-kira dua cm di pipinya”.
Bukan Jan, Denza menyimpulkan. Ia menoleh
keluar pintu kafe, namun jalanan di depannya nampak sepi. Siapa laki-laki aneh
yang mengenakan kacamata hitam di dalam ruangan di hari mendung seperti ini?
Tapi siapa pun orang itu, ia pasti tahu di mana Jan berada.
Read the previous:
No comments:
Post a Comment