Sepulang sekolah siang itu Denza bergegas ke
rumah Jan. Kalau sahabatnya itu ada di rumah, ia berhutang penjelasan
padanya—apa pun itu. Denza nggak peduli kalau ini semua hanya prank besar-besaran yang dibuat oleh Jan,
ia hanya ingin melihat sahabatnya itu. Secara fisik—berdiri di depannya, mengatakan
kalau semuanya baik-baik aja. Denza menghembuskan napas lega saat melihat jazz silver Jan terparkir manis di depan
rumah, paling nggak mimpinya tentang kecelakaan semalam tidak nyata.
Seorang perempuan setengah baya keluar saat Denza
membunyikan bel. Ia mengenalinya sebagai Bi Sur, pembantu sejak Jan kecil. Ia
dan Jan sudah akrab sekali dengannya.
“Jan nya ada Bi?” tanya Denza tanpa
basa-basi.
“Jan?” wanita tua itu terlihat bingung,”Maaf,
mungkin Non salah alamat”.
“Nggak mungkin, Bi. Bibi nggak kenal saya?”
Tidak ada jawaban, namun jelas sekali Bi Sur
nampak heran.
“Ini Denza, Bi. Teman Jan yang sering main ke
sini. Bibi nggak lupa kan?” Suara Denza bergetar, ia takut dengan kenyataan
aneh ini.
“Maaf, tapi di sini nggak ada yang namanya Jan.
Apalagi yang seumuran Non ini. Wong,
Nyonya sama Tuan ndak punya anak”.
Denza terperanjat. Lututnya goyah, dan kalau
saja ia tidak berpegangan pada pagar ia mungkin sudah kehilangan
keseimbangannya. Apa-apaan ini? Mengapa seluruh dunia seakan berkonspirasi
mengerjainya? Mengapa hanya ia yang mengingat Jan?
“Denza! Pelan-pelan dong, Sayang,” tegur Ibu dari
pantry. Aroma bolu kukus pandan
segera menyerbu hidung Denza. Kalau saja tidak ada kejadian super aneh hari
ini, ia pasti sudah mencomot sepotong kue tersebut. Tapi sekarang, mencium
aroma kue kesukaan Jan itu membuatnya mual. Kue kesukaan Jan? Langkah Denza berhenti
di tengah tangga.
“Bu?” Ia memberanikan diri bertanya.
“Ya?” Ibu yang masih sibuk memotong
mahakaryanya tidak menoleh.
“Ibu inget Jan nggak?”
“Jan?” Ibu melihat sekilas ke arah Denza.
Pandangan Denza mengabur oleh air mata, ia
dapat merasakan tubuhnya bergetar, sementara suara Ibu terdengar semakin jauh.
“Siapa? Pacar kamu ya? Akhirnya kamu punya
pacar juga. Kapan-kapan ajak ke si—“
“Bukan siapa-siapa, Bu,” Denza berlari menuju
ke kamarnya,”Bukan siapa-siapa”.
Denza menarik laci meja belajarnya dengan
kasar, mengobrak-abrik isinya. Ia mengeluarkan buku hariannya, agenda, alat
tulis, tiket-tiket bioskop yang dikumpulkannya berhenti dikumpulkannya sejak
tahun lalu, berbagai macam pernak-pernik seperti karet atau jepit rambut yang
sudah lama tidak dikenakannya lagi, berbagai macam struk belanja yang entah
kenapa ia masukkan dalam laci, DVD-DVD
horror yang dipinjamnya dari Nadin sejak entah kapan—mungkin Nadin juga sudah
lupa ia pernah meminjam DVD tersebut, komik detektif conan edisi ke-56, ia
bahkan menemukan sebotol kuteks berwarna pink neon yang sudah dicari-carinya ke
seluruh sudut rumah. Tapi, tetap saja, benda yang dicarinya tidak ada. Album
bersampul Winnie The Pooh yang berisi foto-fotonya dengan Jan lenyap. Padahal
ia yakin sekali menaruhnya di laci tersebut.
Seakan teringat sesuatu, Denza mengecek
bagian atas meja belajarnya. Bingkai foto buatan tangan yang dihias dengan
kerang dan pasir miliknya kini kosong. Denza ingat betul tadinya itu merupakan
tempat foto dirinya dan Jan saat berlibur berdua ke Parai—tepat saat liburan
Natal tahun lalu dimulai. Aneh. Mengapa seluruh foto Jan lenyap? Apa foto-foto Jan
di rumahnya juga hilang? Bagaimana dengan foto-foto Jan dengan teman sekelasnya
yang lain? Denza beranjak menuju lemari bajunya, kemudian berjongkok untuk
membongkar kardus yang terletak di bagian paling bawah. Ia dan Jan pernah
sekelas tahun lalu, nggak lucu banget kalau seluruh foto kelas miliknya dan
teman-temannya hilang dalam waktu bersamaan. Kedua tangan Denza semakin cepat
mengobrak-abrik isi kardus tersebut. Ketemu. Dengan napas naik turun, Denza
menatap foto kelas miliknya.
“Nggak mungkin…” Denza menggeleng cepat,
matanya membelalak, dan ia dapat merasakan tubuhnya bergetar hebat,”Ini nggak
mungkin”. Ia ingat Jan berdiri di pinggir kanan barisan paling belakang. Ia
bahkan ingat Jan adalah satu-satunya orang yang tersenyum sambil menampakkan
giginya di foto itu. Ia ingat dasi sahabatnya yang sengaja tidak dirapikan
sekalipun wali kelas mereka sudah berkali-kali menegurnya, ia ingat seragam Jan
adalah satu-satunya seragam yang dua kancing teratasnya terbuka. Ia ingat semua
detil itu, namun kali ini ia tidak melihat sosok Jan di foto miliknya. Semuanya
lengkap kecuali Jan. 35 siswa, tanpa Jan. Barisan itu berhenti di Michael bukan
Jan. Jan. Jan. Jan. Denza ingin meneriakkan nama tersebut sekuat mungkin.
Membuat orang yang paling penting baginya itu muncul, mengatakan kalau semua
hanya keisengannya saja. Atau ia ingin terbangun dan mengetahui semua ini hanya
mimpi paling buruk yang pernah dialaminya. Tanpa sadar Denza menggigit bagian
bawah bibirnya hingga berdarah. Bukan mimpi. Jan menghilang, dan ini semua
bukan mimpi.
Looooh~ Endingnya lagi2 menggantung >.< padahal udah tunggu lama loooh~ Penasaraaaan~~ :D hahahah~ ditunggu lanjutannya :D
ReplyDelete