Friday, October 19, 2012

Untitled 3


Sepulang sekolah siang itu Denza bergegas ke rumah Jan. Kalau sahabatnya itu ada di rumah, ia berhutang penjelasan padanya—apa pun itu. Denza nggak peduli kalau ini semua hanya prank besar-besaran yang dibuat oleh Jan, ia hanya ingin melihat sahabatnya itu. Secara fisik—berdiri di depannya, mengatakan kalau semuanya baik-baik aja. Denza menghembuskan napas lega saat melihat jazz silver Jan terparkir manis di depan rumah, paling nggak mimpinya tentang kecelakaan semalam tidak nyata.
Seorang perempuan setengah baya keluar saat Denza membunyikan bel. Ia mengenalinya sebagai Bi Sur, pembantu sejak Jan kecil. Ia dan Jan sudah akrab sekali dengannya.
“Jan nya ada Bi?” tanya Denza tanpa basa-basi.
“Jan?” wanita tua itu terlihat bingung,”Maaf, mungkin Non salah alamat”.
“Nggak mungkin, Bi. Bibi nggak kenal saya?”
Tidak ada jawaban, namun jelas sekali Bi Sur nampak heran.
“Ini Denza, Bi. Teman Jan yang sering main ke sini. Bibi nggak lupa kan?” Suara Denza bergetar, ia takut dengan kenyataan aneh ini.
“Maaf, tapi di sini nggak ada yang namanya Jan. Apalagi yang seumuran Non ini. Wong, Nyonya sama Tuan ndak punya anak”.
Denza terperanjat. Lututnya goyah, dan kalau saja ia tidak berpegangan pada pagar ia mungkin sudah kehilangan keseimbangannya. Apa-apaan ini? Mengapa seluruh dunia seakan berkonspirasi mengerjainya? Mengapa hanya ia yang mengingat Jan?

“Denza! Pelan-pelan dong, Sayang,” tegur Ibu dari pantry. Aroma bolu kukus pandan segera menyerbu hidung Denza. Kalau saja tidak ada kejadian super aneh hari ini, ia pasti sudah mencomot sepotong kue tersebut. Tapi sekarang, mencium aroma kue kesukaan Jan itu membuatnya mual. Kue kesukaan Jan? Langkah Denza berhenti di tengah tangga.
“Bu?” Ia memberanikan diri bertanya.
“Ya?” Ibu yang masih sibuk memotong mahakaryanya tidak menoleh.
“Ibu inget Jan nggak?”
“Jan?” Ibu melihat sekilas ke arah Denza.
Pandangan Denza mengabur oleh air mata, ia dapat merasakan tubuhnya bergetar, sementara suara Ibu terdengar semakin jauh.
“Siapa? Pacar kamu ya? Akhirnya kamu punya pacar juga. Kapan-kapan ajak ke si—“
“Bukan siapa-siapa, Bu,” Denza berlari menuju ke kamarnya,”Bukan siapa-siapa”.
Denza menarik laci meja belajarnya dengan kasar, mengobrak-abrik isinya. Ia mengeluarkan buku hariannya, agenda, alat tulis, tiket-tiket bioskop yang dikumpulkannya berhenti dikumpulkannya sejak tahun lalu, berbagai macam pernak-pernik seperti karet atau jepit rambut yang sudah lama tidak dikenakannya lagi, berbagai macam struk belanja yang entah kenapa ia  masukkan dalam laci, DVD-DVD horror yang dipinjamnya dari Nadin sejak entah kapan—mungkin Nadin juga sudah lupa ia pernah meminjam DVD tersebut, komik detektif conan edisi ke-56, ia bahkan menemukan sebotol kuteks berwarna pink neon yang sudah dicari-carinya ke seluruh sudut rumah. Tapi, tetap saja, benda yang dicarinya tidak ada. Album bersampul Winnie The Pooh yang berisi foto-fotonya dengan Jan lenyap. Padahal ia yakin sekali menaruhnya di laci tersebut.
Seakan teringat sesuatu, Denza mengecek bagian atas meja belajarnya. Bingkai foto buatan tangan yang dihias dengan kerang dan pasir miliknya kini kosong. Denza ingat betul tadinya itu merupakan tempat foto dirinya dan Jan saat berlibur berdua ke Parai—tepat saat liburan Natal tahun lalu dimulai. Aneh. Mengapa seluruh foto Jan lenyap? Apa foto-foto Jan di rumahnya juga hilang? Bagaimana dengan foto-foto Jan dengan teman sekelasnya yang lain? Denza beranjak menuju lemari bajunya, kemudian berjongkok untuk membongkar kardus yang terletak di bagian paling bawah. Ia dan Jan pernah sekelas tahun lalu, nggak lucu banget kalau seluruh foto kelas miliknya dan teman-temannya hilang dalam waktu bersamaan. Kedua tangan Denza semakin cepat mengobrak-abrik isi kardus tersebut. Ketemu. Dengan napas naik turun, Denza menatap foto kelas miliknya.
“Nggak mungkin…” Denza menggeleng cepat, matanya membelalak, dan ia dapat merasakan tubuhnya bergetar hebat,”Ini nggak mungkin”. Ia ingat Jan berdiri di pinggir kanan barisan paling belakang. Ia bahkan ingat Jan adalah satu-satunya orang yang tersenyum sambil menampakkan giginya di foto itu. Ia ingat dasi sahabatnya yang sengaja tidak dirapikan sekalipun wali kelas mereka sudah berkali-kali menegurnya, ia ingat seragam Jan adalah satu-satunya seragam yang dua kancing teratasnya terbuka. Ia ingat semua detil itu, namun kali ini ia tidak melihat sosok Jan di foto miliknya. Semuanya lengkap kecuali Jan. 35 siswa, tanpa Jan. Barisan itu berhenti di Michael bukan Jan. Jan. Jan. Jan. Denza ingin meneriakkan nama tersebut sekuat mungkin. Membuat orang yang paling penting baginya itu muncul, mengatakan kalau semua hanya keisengannya saja. Atau ia ingin terbangun dan mengetahui semua ini hanya mimpi paling buruk yang pernah dialaminya. Tanpa sadar Denza menggigit bagian bawah bibirnya hingga berdarah. Bukan mimpi. Jan menghilang, dan ini semua bukan mimpi.

Previous story:

1 comment:

  1. Looooh~ Endingnya lagi2 menggantung >.< padahal udah tunggu lama loooh~ Penasaraaaan~~ :D hahahah~ ditunggu lanjutannya :D

    ReplyDelete