Saturday, October 6, 2012

Tramp.


“Kalau keluarga yang lo maksud adalah sebuah kesatuan yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan saudara kandung, yes, I do have one. Tapi kalau keluarga yang lo maksud adalah sebuah tempat di mana gue bisa merasakan rumah dan saling berbagi, no, I don’t have, I never have it.”—Hanna

Nama gue Hanna. Dan gue adalah orang terakhir yang bisa lo tanya tentang apa arti keluarga. Kenapa? Karena gue nggak punya itu, dan gue nggak bisa mendefinisikannya dengan bahasa gue sendiri.

Buat gue rumah itu adalah barang mewah. Bukan. Bukan karena rumah gue bertingkat empat dan terletak di kawasan elit Jakarta. Bukan karena mobil di rumah gue ada tiga dan rumah gue dijaga satpam. I’m talking about ‘home’ here not ‘house’.

Home for me is a luxury, simply because I can’t afford it. Gue bisa aja beli barang-barang mewah, pasang sistem audio paling bagus di kamar gue, belanja fashion item branded tiap hari, beli iPhone 5 di hari pertama benda itu launching, tapi gue tetep nggak akan bisa ngebeli bokap nyokap gue.

Gue nggak bisa beli ‘hati’ mereka. They are not affordable. Dan gue sadar, ternyata hal-hal paling mahal di dunia ini bukan benda. Orang-orang paling kaya di dunia ini bukan mereka yang punya pulau pribadi atau bisa keliling dunia atau punya koleksi Ferrari. The rich is they who can have what money can’t buy.

Nyokap gue, dengan agenda sosialnya yang ngalahin Ibu Presiden. Gue nggak ngerti apa aja kerjaannya di luar sana, Gala dinner, launching produk inilah-itulah, charity lembaga ini dan itu. Gue bertanya-tanya, apa charity nyokap gue masih bisa disebut amal kalau ia sendiri nggak bisa nyumbang waktu buat anaknya.

Kadang gue bahkan yakin, nyokap gue lupa punya anak perempuan yang namanya Hanna. Yang sekarang kuliah jurusan komunikasi tahun kedua dan IP-nya nyaris tiarap.

Nyokap bahkan nggak pernah ada untuk sekadar ngomelin gue soal nilai. Kadang gue ngiri sama anak-anak lain yang bisa ngeluh tentang betapa nyebelinnya omelan orang tua mereka. Atau betapa malunya mereka masih di cium pipi kanan kiri sama nyokap. Gue pengen banget bisa ngerasain hal-hal yang kata orang menjengkelkan itu.

Bokap? Nggak jauh beda. Gue bahkan nggak ingat kapan terakhir kali gue ngomong sama dia. Tiga hari lalu? Seminggu lalu? Dua minggu? Apa yang gue bilang? ‘Hai?’ ‘Udah makan?’ ‘Pa?’ Entahlah.

Bokap cuma jadi sumber dana buat gue. They say father is a girl’s first hero and boyfriend. Buat gue itu omong kosong. Bokap nggak pernah ada buat ngawasin gue saat gue pacaran untuk pertama kali, bokap bahkan nggak tahu gue udah pacaran lebih dari lima kali. Gue berani taruhan dia juga nggak inget ulang tahun gue.

Buat mereka gue cuma lahir di hari-hari pertama pernikahan mereka. Foto gue bareng mereka bisa dihitung pake jari. Satu di rumah sakit waktu gue baru lahir, lalu pas gue dibaptis, kemudian pas ulang tahun pernikahan emas Oma dan Opa, waktu Abang wisudaan, sama waktu di studio untuk bikin foto keluarga yang bisa dipajang di ruang tamu.

Gue bisa aja kuliah di luar negeri. Tapi demi kesempatan yang sedikit untuk ketemu mereka gue milih stuck di rumah dingin ini. Tentu saja mereka nggak pernah menyadari alasan gue itu.

Kadang gue heran, apa susahnya sih ngeluangin waktu seminggu atau sebulan sekali untuk duduk bareng di meja makan? Untuk ceritain gimana hari bokap di kantor dan nyokap dengan teman-teman sosialitanya itu. Untuk sekadar ngeliat apa gue baik-baik aja, masih hidup dan nggak kena narkoba kayak anak-anak broken home lainnya.

Family should stick together, right? Pada titik ini gue nggak tahu lagi mana yang keluarga gue. Orang tua biologis gue dan Abang yang milih kabur ke Belanda, atau teman-teman nge-band gue yang biasa gue ajak line-up di On Ground tiap weekend. Mungkin yang terakhir. Mungkin gue emang ditakdirkan untuk nggak pernah mengalami apa yang namanya ‘pulang’. Mungkin gue emang dilahirkan untuk nggak memilik rumah. I don’t know if you can call me a homeless or not.

2 comments: