Friday, August 24, 2012

Potongan Terakhir


Mereka bilang jika kamu diperhadapkan pada sebuah peristiwa yang hampir merenggut nyawamu, seluruh kilasan kejadian dalam hidupmu akan muncul bagai rentetan adegan film yang di fast forward.

Mungkin itu juga yang baru saja ku alami.

Kue ulang tahun dengan lilin angka 5 yang menyala-nyala; sepeda roda dua pemberian Ayah; seragam putih biru yang kukenakan sambil berputar-putar di depan cermin; pelukan kedua orang tuaku; kelas di mana aku pertama kali melihatmu 7 tahun lalu; hangatnya genggaman tanganmu; suara rendahmu yang kerap memarahiku saat salah, menghiburku saat sedih; kebaya wisuda SMA yang ku pesan jauh-jauh hari; hamparan bintang di langit Jakarta yang kita lihat bersama pekan lalu.

Aku tidak dapat melihat apa pun. Udara terasa begitu pengap dan berat. Jeritan-jeritan histeris di luar sana terdengar samar. Jantungku berdebar kencang. Aku tahu seharusnya aku panik. Bangkit, dan mencari jalan keluar. Tapi, seluruh kegelapan ini seakan melindungiku. Membuatku betah berlama-lama daripada harus menghadapi apa yang terjadi sebenarnya.

Bukan. Bukan aku memilih mati. Hanya saja tempat ini memberiku ruang untuk menyendiri. Menyediakan jeda yang selama ini aku perlukan. Berbaring tak berdaya di sini membuatku merasa seakan terasing dari perputaran semesta. Menjadikanku pengamat, individu yang terlepas dari dimensi waktu dan tempat. Aku ingin tenggelam dalam sepi ini. Aku ingin seperti ini lebih lama.

Suara batuk di sebelah membuatku menoleh. “Kamu baik-baik saja?” Suaramu yang penuh urgensi menggema di bawah reruntuhan yang menghimpit kita.

Aku mengangguk lemah, dan merasakan kedua telapakmu pada pipiku. “Kita akan baik-baik saja”.

Kamu bergerak, berusaha mencari celah yang mengizinkan kita bebas. Asap yang mencekik paru-paru mulai terhirup.

“Bertahanlah sebentar lagi,” kamu bergumam. Kepalaku seakan melayang hingga yang kulihat hanya bayang-bayang mu di sana, terduduk di sebelahku. Seperti malaikat penjaga yang akan melindungiku selamanya.

Keringat mengucur membasahi pelipisku. Panas. Mungkin di luar sana perapian raksasa sudah tercipta. Menjadi tempat di mana orang-orang berteriak putus asa sementara membayang orang yang mereka cintai.  Tapi aku bersyukur, di bawah himpitan reruntuhan gedung yang entah di mana ini, kamu ada untuk memperjuangkan hidup kita.

No comments:

Post a Comment