“Gue kan cuma ke
Belanda, bukannya pergi ke tempat yang elo nggak bisa datengin atau apa,” Rega
berkata ringan,”Lagian kalo liburan juga gue pasti balik”.
“Iya, tapi kan Belanda nggak sedeket Singapura atau Bandung
atau Australia,” ujar Maira ngotot.
Rega mendesah pelan,”Sekarang ada Twitter, Skype, kita kan
nggak lagi hidup di zaman batu, Maira”.
Alis Maira bertaut,”Tetep aja. Beda dong ama ketemu dan
ngobrol langsung. Gimana kalau seandainya gue ada masalah? Gue harus cerita ke
siapa? Harus nangis ke siapa?”
“Dasar cengeng,” Rega menjitak kepala sahabatnya.
“Dan gue juga bakal kangen banget ama ini,” Maira mengelus
kepalanya pelan, air mata sudah menggenang di pelupuk matanya.
“Semua bakal baik-baik aja kok. Percaya ama gue. Kita bakal
baik-baik aja,” Rega tersenyum.
Maira diam sejenak. “Elo nggak sedih ya, Ga?” ia menatap
sahabatnya lama, berusaha mengingat setiap detil wajah dan garis
tubuhnya,”Kenapa elo bisa setenang itu menghadapi semua ini?” Maira kadang
nggak mengerti dengan pola pikir Rega. Sementara ia sendiri sudah stress berat
menghadapi begitu banyak perpisahan dengan teman-teman SMA-nya, Rega malah
santai saja dengan tanggal keberangkatannya yang sebentar lagi.
Kali ini Rega mengacak-acak rambut Maira, membuatnya semakin
berat untuk berpisah. Ia akan merindukan semua ini, ngobrol-ngobrol tanpa arah
di Kaftee & Bun; ngerjain PR dan belajar bareng; sampai makan malam di
warung pecel lele kompleks sebelah. “Harus ada yang tetap kuat untuk semua ini
kan?”
“Apa ya jadinya gue kalau nggak ada lo?” Maira bergumam,”It’s like you’re my only grip.”
“Elo ya elo. Dengan atau tanpa gue,” jawab Rega mantap,”Elo
tetap Maira yang gue kenal, yang selalu tahu maunya apa. Dan gue nggak pengen
waktu kita ketemu lagi nanti—enam bulan dari sekarang, elo jadi Maira yang
kalah ama keadaan”.
Seulas senyum melengkung di bibir Maira. Sekarang atau
nanti, Rega akan selalu jadi sahabatnya—orang yang memarahinya saat salah,
memujinya saat ia melakukan sesuatu yang baik, menemaninya saat kesepian,
menjadi tempat bersandar saat ia terlalu lelah menjalani hidup, dan ‘motor’nya
saat ia sedang butuh tambahan energi. Kepergian Rega mungkin akan terasa berat,
tapi ia tahu ia bukan satu-satunya yang harus menjalaninya. Rega pun merasakan
hal yang sama. Mereka adalah penopang bagi satu sama lain, makanya sekarang
giliran ia yang mendukung Rega. Men-support
cita-cita sahabatnya itu. “No worries,
Ga. No worries”.
aaaa sukaa :D
ReplyDelete