There is a white-old-photo album in our living room’s
cabinet. And yesterday, my little brother opened it.
Isinya foto-foto saya waktu masih bayi. Tinggal di kontrakan
yang ukurannya mungkin hanya sebesar garasi rumah kami yang sekarang. Yang
televisinya saya ingat betul ditaruh dalam lemari baju karena tidak ada tempat.
Yang lantainya masih semen. Yang setiap sudut dindingnya dipenuhi coretan
tangan saya. Yang kalau mau ambil air harus mompa manual dulu.
Lalu, kami tiba pada foto ulang tahun saya yang kedua. Saya
berdiri sambil tersenyum gembira dalam kamar dengan kue tart dan lilin yang
menyala-nyala. Melihat foto itu, Papa nyeletuk,”Dulu, nggak ada orang aja masih
dirayain ya?” Saya mengangguk. Rumah kami yang sekarang dipenuhi banyak orang.
Mama, Papa, saya, dan keempat adik saya, belum lagi kakek, nenek, dan PRT. Setiap ada
perayaan ulang tahun pasti jadi ramai.
Rumah tempat saya lahir dulu memang jauh lebih kecil dari
yang sekarang. Lebih sempit dan sepi. Tapi disanalah saya melangkahkan kaki
saya untuk yang pertama kali, mengeluarkan sepatah kata untuk yang pertama
kali, merayakan ulang tahun saya untuk yang pertama kali dengan ditemani kedua
orang tua saya. Di rumah itulah saya menciptakan kenangan-kenangan masa kecil
saya, mencetak foto-foto pertama saya, membaca buku pertama saya, dan belajar
banyak hal yang serba pertama.
Kalau melihat dimana saya berada sekarang, saya nggak pernah
menyesal—bahkan bersyukur pernah tinggal dikontrakan itu. Saya bersyukur pernah
jadi bagian dari perjuangan orang tua saya, yang selalu mengingatkan saya bahwa
Tuhan begitu baik kepada keluarga kami. Saya senang pernah tinggal di sana,
karena kalau nggak, saya nggak akan bergereja di gereja saya yang sekarang,
saya nggak akan bertemu teman-teman saya yang sekarang. Kalau pulang gereja,
saya masih sering melewati kontrakan saya dulu, melihatnya selalu sanggup
membuat saya tersenyum—berterima kasih untuk setiap pahit manis yang pernah
saya kecap di sana.