3 Desember, hari dis-abilitas sedunia. Hari yang mengingatkan kita pada saudara-saudara kita yang berbeda, memiliki kekurangan, tapi begitu luar biasa. Saya setuju sekali dengan kata difabled (different ability) yang belakangan ini ramai dibicarakan untuk menggantikan kata disabled. Kalau di tengah kekurangan mereka masih bisa berkarya dan beraktivitas normal, rasanya tidak layak jika mereka disebut disabled.
Menulis dan mengatakan panjang lebar soal idealisme memperlakukan orang lain yang secara fisik memilki kekurangan memang mudah. Tapi kenyataannya, saya (dan mungkin teman-teman juga) mungkin belum melakukannya dalam praktik sehari-hari.
Saat melihat orang lumpuh, sering kali yang menjadi pusat perhatian kita adalah kursi rodanya, bukan orangnya. Saat melihat orang buta, kita terlebih dulu melihat tongkatnya dan bukan orangnya. Saat bertemu orang pengidap autisme, kita sudah terlebih dulu mencap mereka bodoh. Kita lebih sering melihat kekurangan mereka, penyakit mereka, bukan mereka apa adanya. Padahal, apa sih yang paling mereka butuhkan? Uang? Materi? Alat bantu yang lebih canggih? Kadang kita menyumbang untuk mereka, merasa kita sudah memberi banyak, tapi ternyata yang mereka butuhkan adalah hal yang jauh lebih sederhana: PENERIMAAN.
Saat kita menyisihkan sedikit apa yang kita punya, sudahkah kita menerima mereka apa adanya? Maukah kita menjadi sahabat mereka? Memeluk mereka? Atau malah menolak mereka? Saya harap kita semua mau sama-sama belajar untuk tidak menjadi yang terakhir ya… Yuk, sama-sama memperlakukan mereka seperti kita memperlakukan diri sendiri!
No comments:
Post a Comment