Wednesday, November 27, 2013

becoming a doctor


OB/GYN Strike Reaches Jakarta as Doctors Threaten National Walk Out,” Siena membacakan judul salah satu artikel yang ditemuinya di the Jakarta globe sambil terus men-scroll tabletnya ke bawah, membaca keseluruhan berita.

And here they are today, doing the protests”. Wida menimpali sambil terus menekuni buku teks ilmu penyakit dalam yang super tebal. “Why don’t save life, instead of doing the protests?

“Jadi lo nggak setuju sama aksi demo dokter hari ini?” Siena mengalihkan tatapan pada sahabatnya—Wida si kamus Dorland, tanyakan pada sahabatnya itu tentang istilah kedokteran apa pun, ia pasti bisa menjawabnya.

“Demo dan menelantarkan pasien?” Wida menggeleng. “Sekali pun kasus darurat masih tetap ditangani, isn’t that kinda cheap? Demo-demo kayak buruh, kita kan kaum intelek.”

“Apanya yang cheap?” Siena mengangkat alis. “Bukannya kita hidup di negara demokrasi ya? Justru karena kita kaum intelek, kita harus sadar bahwa udah seharusnya aspirasi kita didengar. Dan salah satunya adalah dengan cara yang udah difasilitasi negara—demo yang nggak anarkis. We have the rights to be heard, kalau diam aja, bagaimana mereka bisa tahu kalau selama ini kaum dokter merasa diperlakukan nggak adil?”

“Tapi gue nggak suka sama sikap dokter-dokter yang merasa di atas angin. Merasa nggak bisa disentuh hukum dengan mengatasnamakan profesi kedokteran yang ‘luhur’,” Wida membetulkan letak kacamatanya. “Being a doctor and saving life doesn’t mean they can do whatever they want. Seharusnya mereka sadar, bahwa menjadi dokter berarti menjadi perpanjangan tangan negara untuk memenuhi kebutuhan hak masyarakat atas kesehatan. Not playing god as much as they like”.

Siena mengangguk kecil, lalu tersenyum hambar. “Lucu ya, dari kecil gue selalu berpikir it’s kinda cool to become a doctor one day. Saving life is heroic in my opinion. Then I grow up, masuk fakultas kedokteran, tahu betapa susahnya jadi dokter. Baca puluhan buku teks yang tebal-tebal, ujian tiap dua minggu sekali, siap-siap kerja rodi tapi gaji kecil, siap-siap dituntut kalau pasien salah paham. Suddenly becoming a doctor doesn’t sound that cool anymore.

“Elo mau nyerah?” Wida memiringkan kepalanya.

Nope,” Sienna menggeleng. “Gue cuma jadi mikir, segalanya ternyata nggak sesederhana itu ya. Nggak cukup dengan sekadar niat baik, and voila! You become an angel and everybody loves you. Mau berbuat baik, tapi malah jadi bumerang. For god’s sake, siapa sih yang mau bikin orang meninggal? Gue nggak akan jadi dokter kalau mau nyelakain orang.”

“Tapi niat baik bukan berarti bisa jadi pembenaran atas segala tindakan lo. There are rules, dear”.

Siena balas tersenyum, sedikit banyak ia setuju sih dengan Wida. Masalah tuntut menuntut dokter ini pasti nggak akan selesai dalam waktu singkat. Tapi tentu saja ia nggak akan berhenti jadi dokter hanya karena hal tersebut. Ia punya segudang alasan untuk jadi dokter—untuk jadi dokter sebaik yang ia bisa. After all, she still thinks that becoming a doctor is cool!

1 comment: