Tuesday, October 15, 2013

The Happy Pills


Aku duduk di pinggir lapangan basket yang kosong sore itu, angin yang berhembus membuatku setengah mengantuk. Aku melirik jam tanganku, masih ada lima belas menit lagi sebelum ekskur cheerleading Renza bubar. Aku mengalihkan pandanganku ke depan gerbang sekolah, pada kendaraan-kendaraan yang hilir mudik tanpa mempedulikan keberadaanku.

“Hai,” sebuah suara memecah lamunanku. Detik berikutnya orang itu sudah duduk di sebelahku, ikut bersandar dan menikmati suasana sore yang teduh.

“Lagi nungguin Renza selesai latihan cheers, kan?” tebaknya dengan senyum cerah yang khas.

Aku mengangguk, masih setengah terkejut karena mendapati orang yang seharusnya tidak pernah berbicara denganku kini duduk bersebelahan denganku. Ini bukan kali pertama kami berbicara. Ini adalah kali kesekian yang membuatku bertanya-tanya apa yang membuatnya mau berbicara denganku.

Aku bukan anak populer. Kalau saja aku tidak bersahabat sejak kecil dengan Renza yang adalah anak cheers, mungkin aku tidak akan punya teman sama sekali. Aku adalah anak yang duduk di pojok kelas, mengikuti pelajaran, lalu pulang. Tidak akan ada yang peduli jika aku tidak masuk, tidak akan ada yang menyadari jika aku bolos kelas. Aku adalah bagian yang tidak terlihat—the invisible, begitu aku selalu memandang diriku.

“The Zahir, Paulo Coelho.” Ia membaca judul buku di atas pangkuanku. “Yang kemarin udah selesai dibaca, ya? Yang ini bagus?”

“Bagus,” lagi-lagi aku mengangguk. Apa yang membuatnya tidak bosan berbicara denganku? Aku tidak punya ribuan kosa kata yang sanggup membuatnya tertarik.

“Baru selesai latihan band?” aku mencoba bertanya, tidak ingin terlihat membosankan di hadapannya.

“Iya, untuk closing cup minggu depan,” ia menjawab. Arga, gitaris band sekolah, masuk dalam jajaran anak paling populer. Punya banyak penggemar, supel, siapa pun mau berteman dengannya—he is all visible.

Aku menatapnya lama. Arga adalah orang pertama yang mau mencoba mengakrabkan diri denganku selain Renza. Ia adalah satu-satunya orang yang tertarik dengan apa yang kubaca di sekolah. Ia mau berlama-lama berdiri di depan mading dan membaca tulisanku. He doesn’t laugh at me when I told him I love the smell of the new book. He is the one, who compliments me for what I wrote. He is the one who makes me comfortable with myself.

“Ngomong-ngomong, ingat buku yang belum lama lo baca sebelum ini?” Arga bertanya. “The Fault in Our Stars?”

Aku mengangguk.

“Gue udah baca. Ceritanya sedih ya, gue sampai nangis”.

“Bohong,” aku menaikkan alisku.

“Elo nggak percaya gue nangis?”

“Gue nggak percaya lo baca buku itu”.

Really? Tampang kayak gue bukan tampang baca buku, ya?” Ia tertawa kecil. “Gue benar-benar baca loh. Hazel Grace? Augustus Waters? I love the idea of the infinity in their story”.

Aku mengulum senyum, “Iya, iya. Gue percaya.” Apa yang membuat orang seperti Arga mau bergaul denganku?

“Arga!” teriakan dari seberang lapangan membuat kami menoleh.

“Eh udah dulu ya, gue pulang bareng Rio,” Arga bangkit sambil menyandang gitarnya. “Ngomong-ngomong, elo datang ke closing cup minggu depan?”

“Gue nggak suka keramaian,” aku menjawab.

“Oh ya? Sayang banget. Padahal gue sama anak-anak main. I’ll treat you something if you come,” Arga tersenyum jenaka.

Aku membalas tatapan Arga, laly tersenyum. “Oke, coba gue pikir-pikir dulu kalau gitu.”

Great. Gue duluan ya!” Arga melambaikan tangannya lalu berbalik pergi.

“Arga lagi?” Renza muncul di belakangku sebelum sosok Arga menghilang sepenuhnya. “Kelihatannya dia suka sama lo, tuh,” Renza menyikutku dengan senyum jahil.

“Apa sih, Za?” Aku memasukkan novel di pangkuanku ke dalam tas. “Yuk ah, udah sore nih.”

“Eh, ngomong-ngomong, tiket closing  yang kemarin lo beliin buat gue masih ada?” Aku bertanya.

“Loh, katanya nggak mau dateng?”

I think I’ll consider it,” Aku menggigit bagian bawah bibirku.

“Ah, gue tau. Lo pasti pengen liat Arga main kan?” Renza tertawa kecil. “You like him, right?

Well, I don’t hate him,” Aku menunduk dalam-dalam. “He read John Green for me”.

“Arga? Baca buku?” Renza membelalak. “Whoaa, he definitely likes you! Elo juga suka dia kan? Ya udah tunggu apalagi? Akhirnya ya, temen gue yang kutubuku ini dapet pacar juga!”

“Zaaa,” Aku memutar bola mata. “Gue bilang gue nggak benci dia. Bukan berarti gue suka, kan?”

“Ya, ya, ya.” Renza masih cekikikan kecil,”Tinggal tunggu waktu aja kok sampai  lo ngaku. Congrats, ya!”

“Renzaaa…” Aku menatap sahabatku dengan wajah yang terasa panas. Entahlah, munkin Renza benar, mungkin juga tidak. Tapi satu hal yang aku sadari di tengah sore yang menyenangkan ini adalah, untuk pertama kalinya aku menyukai diriku. Karena Arga. Dan kupu-kupu yang tengah bermain di perutku.

No comments:

Post a Comment