Tuesday, October 8, 2013

blind


Love is not blind, it sees, but it doesn’t mind.—Ares


Liv menatap ke dalam cermin. Ia nyaris tidak mengenali sosok yang dilihatnya. Wajah pucat dengan kepala yang terbalut scarf hitam polos milik Ibu. Setiap memandang dirinya sendiri seperti ini selalu membuat hatinya sakit. Kemoterapi merenggut hidupnya sedikit demi sedikit. Tidak ada lagi rambut sepunggung yang selalu ia ikat satu saat ke sekolah. Bagian bawah matanya kini menghitam, bibirnya kering dan pecah. Satu-satunya yang masih bertahan di sana hanyalah binar matanya yang entah sampai kapan masih dapat dipertahankannya.

“Liv, koper lo gue taro sini ya,” suara Ares membuatnya menoleh. Liv mengangguk pada Ares yang berada di samping lemari kamarnya. Di mata Ares, seperti apa ya dirinya yang sekarang?

“Thanks ya, Res,” Liv nggak tahu apa yang membuat Ares masih bertahan di sisinya. Menemani dirinya bolak balik kemo ke rumah sakit, membersihkan bekas muntahannya, bergantian dengan Ibu menjaganya selama diopname.

“Udah ya, gue balik dulu. Jangan capek-capek—“

“Eh, Res,” Liv mendadak teringat sesuatu. Ia membuka laci meja belajarnya. “Gue belum sempat ngasih lo kado ulang tahun kemarin ini. Padahal gue udah beli”.

“Mana ya…” Liv mengobrak-abrik isi lacinya. Mencari kotak kado marun yang seingatnya ia letakkan di sana. Tidak ada. Ia kemudian berpindah ke lemari dan membongkar isinya.

“Pelan-pelan aja carinya, Liv,” Ares duduk di atas ranjang Liv. Emosi Liv yang naik turun belakangan ini sering membuatnya khawatir.

“Kenapa nggak ada ya—“ Liv mulai panik, belakangan ini ia lebih sering melupakan banyak hal. Kebanyakan sepele, namun tetap saja hal-hal tersebut membuatnya takut. “Gue yakin kok udah gue beli. Gue ingat, gue—“

“Liv!” Kaki Liv tersandung boneka beruang yang terjatuh saat gadis itu hendak berbalik, namun untungnya Ares berhasil menahan pergelangan tangannya.

Liv terdiam karena kaget. Ia tidak dapat berkata apa-apa, namun setetes air mata mengalir di pipinya. Ia merasa semakin tidak mengenal dirinya sendiri akhir-akhir ini. Tumor di otaknya seakan mengambil alih hidupnya, menjadikannya orang lain.

“Pelan-pelan aja, Liv. Nggak ketemu sekarang juga nggak apa-apa kok”.

“Kenapa, Res?” Suara Liv bergetar. “Kenapa lo masih ada di sini? Keadaan gue nggak akan tambah baik, gue mungkin akan ngelupain lebih banyak hal termasuk elo. Emosi gue akan semakin nggak stabil, gue akan lebih sering marah-marah, gue akan lebih sering nyakitin lo. Jadi, kenapa elo masih di sini?”

“Karena ini elo, Liv. Karena ini elo makanya gue masih di sini,” Ares menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, lalu dengan kikuk ia merogoh kantongnya dan mengeluarkan sebuah kalung.

Liv menatap benda itu lekat. Hanya kalung imitasi, namun tetap saja ia terkejut. “Boleh gue jadi pacar lo?”




This post was made in the middle of a never-ending business plan task *sigh* and I wrote this while my other friends were busy doing their tasks. enough for the quick break, let's get back to work. And oh, forget this unimportant note.

No comments:

Post a Comment