Sunday, September 1, 2013

cerita ulang tahun


“Waktu itu tahun 2013,” Wanita tua di sebelahku berkata seraya memandang jauh ke langit senja yang menaungi rumah kecil kami. Keriput-keriput di wajah, dan bagian tubuhnya yang lain semakin jelas dari hari ke hari. Duduknya tak lagi tegak. Warna rambutnya pun kian menghilang di makan usia. Tapi ia satu-satunya yang ku punya setelah kakek tutup usia satu tahun lalu. “Ibumu 15 tahun saat ia tahu kamu ada di dalam kandungannya”.

Aku sudah mendegar cerita ini berkali-kali. Aku juga tahu bagaimana akhirnya. Tapi Oma tidak pernah bosan menceritakannya padaku, terutama pada hari ulang tahunku seperti hari ini.

“Hari itu, ketika Mama memberi tahu Oma yang sebenarnya. Apa yang ada di pikiran Oma?” ini adalah pertanyaan yang tidak pernah kulontarkan sebelumnya. Oma tidak pernah sekali pun menceritakan reaksi dirinya.

“Marah, tentu saja,” kontras dengan kata-katanya, Oma malah tersenyum menatapku. Matanya yang sudah lamur membentuk dua buah garis tipis. “Oma tidak mendidik mamamu menjadi gadis yang bodoh. ‘Cintai dan kenali Tuhan Allahmu terlebih dulu’ itu yang selalu Oma katakan.”

Aku terdiam. Oma juga mengajarkan itu padaku. Oma selalu berkata,’Jangan pacaran kalau hanya ingin merasa utuh. Sebaliknya, merasa utuhlah dulu, baru pacaran’. Aku tidak mengerti awalnya, namun sekarang di usiaku yang kedua puluh, aku rasa aku paham. “Lalu, ketika Mama ingin melakukan aborsi, kenapa Oma mencegahnya?”

Oma menatapku tegas—sedikit kemarahan terpancar dari wajahnya. “Kamu pikir hidup yang sudah diciptakan dapat dibuang begitu saja? Setiap nyawa adalah berharga, kamu berharga, terlepas dari bagaimana kamu dilahirkan. Mamamu harus bertanggung jawab atas dirimu.”

“Tapi bukankah dengan mempertahankanku, akan ada begitu banyak alasan untuk tidak mencintaiku?”

“Mamamu berusia lima belas saat itu. Kekasih yang menghamilinya tidak mau bertanggung jawab. Mamamu masih memiliki begitu banyak mimpi—cita-cita yang ingin dikejarnya. Mamamu tidak memiliki pekerjaan untuk menghidupimu. Ia belum matang secara emosi. Dan terlebih lagi, dokter mengatakan, di usia semuda itu, melahirkan anak memiliki risiko yang sangat besar. Wajar jika mamamu tidak menginginkamu”.

“Tapi?” Aku tahu jawabannya. Tapi aku tidak pernah bosan melontarkan pertanyaan yang sama hanya untuk mendengar kalimat Oma selanjutnya.

“Tapi, saat Oma mencegahnya melakukan aborsi, ia tahu jauh di dalam hatinya ia sudah melakukan hal yang tepat. Mamamu tahu ia mengasihimu. Hanya butuh waktu saja sampai cinta itu tumbuh semakin besar, hingga ia rela mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkanmu. Makanya ia menulis—“

“Surat ini,” sambungku sambil mengangkat sehelai kertas kekuningan di pangkuanku. Tinta di atasnya sudah mengabur, dan di atas tulisan-tulisannya terdapat banyak bekas air mata yang kuteteskan saat membacanya. Hari ini, di ulang tahunku yang ke-20 aku akan membacanya sekali lagi.

“Baca yang keras supaya Oma juga bisa dengar,” pinta Oma sambil membelai kepalaku.

Dear Rhea,

Maaf jika Mama tidak dapat melihatmu bertumbuh. Maaf membiarkanmu besar tanpa sosok seorang ibu maupun ayah. Maaf jika kata pertama yang kamu ucapkan bukanlah ‘Mama’ atau ‘Papa’. Maaf bila Mama tidak ada di sana untuk melihat langkah pertamamu dan menangkapmu ketika jatuh. Maaf jika Mama tidak dapat mengantarmu di hari pertama masuk sekolah. Maaf jika Mama tidak pernah ada saat kamu pulang sekolah dan ingin menceritakan semua keluh kesahmu. Maaf jika kamu tidak pernah bisa menghabiskan waktu berbelanja dengan Mama seperti remaja putri kebanyakan.

Ketahuilah, Mama sangat ingin melakukan itu semua. Mama ingin menjadi orang pertama yang mendengar suaramu. Mama ingin menjadi satu-satunya orang yang merawatmu saat kamu sakit. Mama ingin menjadi orang yang dapat membacakan dongeng sebelum tidur sampai putri kesayangannya terlelap, lalu mengecup keningnya sebelum mematikan lampu kamar. Mama ingin ada di sana untuk memelukmu di saat kamu bersedih dan menangis. Mama ingin menjadi orang tua yang khawatir saat putrinya pulang larut malam. Mama ingin menjadi orang pertama yang mendengar tentang cinta pertama gadis kebanggaannya. Mama ingin selalu ada di sisimu, melihat mu dewasa dari hari ke hari.

Jika kamu membaca ini, berarti Oma memberi tahumu tentang Mama. Tentang kehadiranmu di usia Mama yang masih terlalu muda. Tentang kesalahan Mama dan Papamu. Tentang segala pergumulan Mama mempertahankanmu.

Jika kamu membaca ini, ketahuilah Mama tidak menyesal memperjuangkanmu. Dan Mama ingin kamu selalu mengingat hal ini: Kamu bukanlah rancangan kecelakaan. Orang-orang mungkin mengatakanmu kecelakaan, tapi Mama tahu kamu adalah pemberian Tuhan yang paling indah. Aku mengasihimu. Sangat mencintaimu. Dan Mama ingin kamu tumbuh dengan mengingat bahwa kamu sangat sangat berharga. Dan kamu sangat dicintai.

Salam Sayang,
Mama

No comments:

Post a Comment