Dua bulan lalu—Bandara
“Take care, Liv! Jaga diri di sana,
jangan keluyuran sama orang asing. Jangan suka telat makan—gue kan susah kalau
mau ngingetin lo. Jangan keseringan begadang—“
“Res?”
Olivia mengangkat kedua alisnya, bibirnya membentuk sebuah senyum kekanakan.
Ares menghentikan ocehan panjang lebarnya. “I
know, I am a big girl. Elo bahkan lebih cerewet daripada Mama.” Liv melirik
ke belakang, mama dan papanya sedang duduk di sebuah coffee shop, memberi ruang bagi dirinya, Ares, dan Eva, untuk saling
mengucapkan salam perpisahan.
“Cariin
gue bule Belanda ya, Liv,” Eva nyengir. “Elo juga belajar yang bener di sana,
biar cepet selesai S2 lo.”
“Iya,
iya,” Liv tertawa kecil, berusaha keras untuk tidak menangis, ia bahkan sudah
merindukan kedua sahabatnya ini. “Eh, udah ya. Gue mesti check-in sekarang. Don’t miss
me, Res, Va. Really, really love you guys”.
*
Hari ini—Rumah Sakit
“Dia
nggak pernah terbang ke Belanda, kan?” Ares mengintip melalui kaca yang
terdapat pada pintu kamar rumah sakit. Liv terbaring di dalamnya. Ia hampir
tidak dapat mengenali gadis itu lagi, tubuhnya jauh lebih kurus, wajahnya pucat
dan tirus, tatapan matanya kosong, selang-selang yang menembus tubuhnya membuat
Liv lebih terlihat mati daripada hidup, sama sekali bukan Liv yang dikenalnya
selama lima belas tahun. Ares baru tahu dua bulan bisa mengubah seseorang
sedemikian drastis.
“She didn’t even apply to the university,”
jawab Eva. “Ambil S2 seni di Belanda cuma karangan Liv. Cara dia untuk
menghindar dari lo sementara ia harus kemo”.
“Dan
elo sama sekali nggak ngasih tahu gue tentang semua ini?” rahang Ares mengeras,
rasanya ia ingin menghajar apa pun yang ada di sekitarnya saat ini, termasuk
Eva, sahabatnya sendiri.
“Liv
yang nggak mau elo tahu, Res”.
“She has a tumor in her brain, Va. Kenapa
gue nggak boleh tahu?! We’ve been
together for fifteen years! I understand her more than she understands herself!
Gue bahkan—“ Ares memejamkan mata, berusaha meredam emosinya.
“You know I love her, Va,” bisik Ares
dengan napas naik turun.
“Itu
alasannya,” jawab Eva, “Liv tahu, Res. Dia tahu tentang perasaan lo sama dia.
Dia tahu semuanya makanya dia nggak pernah merespon elo. Liv tahu elo nggak
akan tega melihat dia seperti ini sekarang, Liv tahu bahwa perpisahan kalian
akan semakin menyakitkan kalau kalian pacaran. She has been protecting you this whole time, Res”.
“Lalu
kenapa sekarang lo ngasih tahu gue?”
“Karena
gue tahu dia sebenarnya butuh elo, Res. I
know Liv is a fighter. But she can’t fight this alone. Dan satu-satunya
orang yang—“
“Liv!” tatapan Ares pada jendela berubah horror. Ia melihat Liv
menegakkan tubuhnya, menyambar baskom yang terletak di sebelah tempat
tidurnya dan memuntahkan isi perutnya ke sana.
"Liv," Ares menyerbu masuk dengan panik. Liv
masih terus memuntahkan cairan kuning dari lambungnya sementara Ares
memijat-mijat tengkuknya. Merasakan tubuh Liv yang ringkih seperti ini membuatnya
miris, ia harus menahan bahu Liv agar gadis itu tidak terdorong oleh
pijatannya. “It’s okay, Liv. It’s okay.”
Ares mengambil karet rambut yang terletak di meja dan mengikat rambut Liv ke
belakang. Rambut itu masih sama halusnya seperti yang terakhir diingatnya,
namun sekarang terasa lebih tipis.
“Pasti
Eva yang nyuruh lo ke sini,” Liv mendorong baskom muntahannya menjauh. “Sebelum
lo ngomel gue mau minta maaf karena nggak ngasih tahu lo. I know the chemo will be excruciating until one point I’ll beg to die. Dan
gue nggak mau elo ngelihat gue dalam kondisi seperti itu. I know you won’t stand it.”
“I know I can’t. But you can’t stand this by yourself too, Liv. So, let me help you. Let
us go through this together like we always do.” Ares membantu Liv berbaring
dan memakaikan selimutnya.
Liv
menatap Ares lama. Sedih karena akhirnya orang yang paling dicintainya harus
ikut menderita. Lega karena satu-satunya sumber kekuatannya kini ada di
sebelahnya. “Gue takut, Res. Takut banget,” bisik Liv.
“I know,” Ares menyibak poni Liv yang
menutupi matanya. “But I’m here now”.
picturetakenfrom:weheartit.com |