Jakarta, 29 Juli 2013. Pk 08.00. (Darian)
This is the day.
Aku
merapikan seragam chef kebanggaanku
di depan cermin. Dua puluh lima tahun lalu, persis di tempat ini, aku masih
dapat menceritakan secara detail bagaimana perasaanku saat pertama kali membuka
restoran ini. Dengan Juli di sisiku, kami mendirikan mimpi kami.
Aku
berbalik, Juli yang sejak tadi bersandar pada bingkai pintu sambil mengamatiku,
tersenyum. Kerut-kerut di sekitar matanya semakin jelas. Rambut putihnya mulai
tak dapat dihitung lagi.
Ia
berjalan menghampiriku, merapikan celemekku. "Kamu terlalu
bersemangat," tangan keriputnya menyentuh pipiku.
"Aku
selalu bersemangat setiap hari," aku menatapnya,"Everyday whenever I see this place running, I know I am living my dream".
Jakarta, 29 Juli 2013. Pk 08.00. (Gaven)
This is the day.
Gue
menatap diri gue dalam cermin. Hari ini adalah harinya. Hari yang akan menjadi
salah satu hari terpenting dalam hidup gue.
It has to run smoothly. Perfectly.
"Cieee
yang pagi-pagi udah semangat banget," Lea adik gue melongok lewat pintu
kamar yang sedikit terbuka,"Sukses yaa!"
Jakarta, 29 Juli 2013. Pk 19.00. (Darian)
Sejauh
ini semua berjalan lancar.
Aku
memberi sentuhan terakhir pada resep oyster
kebanggaanku sebelum seorang pelayan mengantarkannya kepada pelanggan.
“Sudah
berapa lama kita tidak kedatangan tamu sebanyak ini, ya?” tanya Juli sambil
memberikan selembar kertas pesanan padaku.
Aku
tersenyum ceria,”Sudah ku bilang kan, hari ini adalah harinya”.
Juli
memutar bola matanya. “Ngomong-ngomong, lihat pasangan di pojok sana?”
Aku
melihat ke arah yang ditunjuk Juli, sepasang anak muda sedang duduk sambil
bercakap-cakap.
“Buatkan
hidangan terlezatmu, ini malam yang spesial untuk mereka,” Juli mengerling.
“Kelihatannya
hari ini banyak hal besar yang akan terjadi, ya?”
Jakarta, 29 Juli 2013. Pk 19.00. (Gaven)
Sejauh
ini semua berjalan lancar.
Gue
mengajak Viola memasuki Plethora. Awalnya gue ragu mengajak Viola ke sini,
rasanya terlalu berlebihan untuk anak SMA. Tapi, setelah dipikir-pikir lagi,
toh gue memakai tabungan gue sendiri hasil nge-band bareng anak-anak.
“Makan
malemnya fancy banget,” Viola
berkomentar,”Pantesan elo nyuruh gue pake dress”.
Gue
tersenyum gugup,”I, iya… Nggak apa-apa kan kita sekali-kali makan di tempat
kayak gini?”
Viola
mengangguk. “Penasaran aja. Dalam rangka apa sih?”
“Ada
deh, makan dulu aja yuk,” gue memberi tanda pada seorang wanita—Juli, istri
pemilik restoran ini. Gue kenal dia karena Plethora adalah restoran favorit
bokap nyokap gue sejak mereka pacaran.
Jakarta, 29 Juli 2013. Pk 20.00. (Gaven)
“Ng…
Jadi, gimana?” Gue menunggu, ternyata menyatakan cinta jauh lebih sulit dari
yang gue bayangkan. Jantung gue berdebar keras.
Viola
masih diam. Tapi ia tersenyum. Gue punya harapan kan?
“Iya,”
Viola akhirnya bersuara.
“Iya?”
Viola
mengangguk.
Hari
ini hari terindah dalam hidup gue.
Jakarta, 29 Juli 2013. Pk 20.00. (Darian)
“Jadi,
bagaimana?” Aku menghampiri meja terakhir malam ini. Meja yang menjadi milik
sepasang kekasih yang baru saja resmi berpacaran. Aku mengenal anak laki-laki
di hadapanku, orang tuanya adalah pelanggan tetap restoran ini. Aku mengenal
Gaven sejak ia bayi. Tak terasa, kini ia sudah menjadi seorang remaja, dan aku
semakin tua. “Enak?”
“Enak
banget,” Gaven memuji masakanku. “Masakan terenak selama aku makan di sini!”
“Kata
seseorang yang baru saja diterima cintanya,” godaku.
“Restoran
ini bakal jadi restoran favorit aku juga! Mama dan Papa juga mulai pacaran di
restoran ini kan?” celoteh Gaven.
Aku
mengangguk, terharu rasanya masih ada seorang pelanggan yang menyukai tempat
ini. “Tapi, kelihatannya kamu tidak akan bisa membawa anakmu ke sini,” aku
menelan ludah,”Plethora akan tutup mulai besok. Terima kasih karena kamu
mencintai tempat ini sampai akhir, Gevan. Hari ini adalah layanan terakhir
kami.”
Jakarta, 29 Juli 2013. Pk 21.00.
(Darian-Gevan)
Hari
ini menyenangkan. Dan menyedihkan… Tapi, satu hal yang pasti. Setelah hari ini
berakhir, awal yang baru sudah menunggu…