Saturday, August 17, 2013

The Waiting Game


Mia memandang pantulan dirinya dalam cermin. Average—kalau nggak bisa dibilang di bawah standar, ia menyimpulkan. Tingginya 157 cm dan berat tubuhnya ideal—masih dalam skala BMI normal, walau ia sering mengeluhkan tumpukan lemak di lengannya. Kulitnya kecoklatan akibat terlalu sering naik angkutan umum. Rambut hitamnya terurai sampai ke punggung namun teksturnya yang sedikit kasar dan sulit diatur kerap membuatnya jengkel. Wajahnya bulat, matanya terlalu besar, ia selalu merasa wajahnya tidak proporsional.

“Gue sejelek itu ya?” Ia bergumam di sela alunan lagu Gravity-nya Sara Bareilles yang mengisi seantero kamar.

“Lo nggak jelek,” Giska—sahabatnya yang sedang asik tengkurap di ranjang miliknya menjawab asal. Tangannya sibuk membalik halaman majalah LYFE edisi terbaru.

“Terus kenapa dia milih cewek itu dibanding gue???” Mia bertanya kesal sambil menjatuhkan dirinya ke tempat tidur, tepat di sebelah Giska hingga cewek itu merasa terganggu.

Giska menyodorkan sekotak tissue pada sahabatnya, kalau-kalau Mia siap untuk menangis ronde lima.

“Nggak usah,” Mia mendorong kotak tersebut menjauh,”Gue capek nangis”.

“Lupain aja cowok kayak gitu,” Giska menanggapi.

“Kayaknya emang gue yang nggak pantes buat dia deh. Iya, kan Gis? Jujur deh sama gue, lo nggak perlu bohong. Pertama gue nggak cantik—“

“Mi—“

“Kedua, badan gue nggak tinggi dan langsing. Ketiga, otak gue pas-pasan banget—“

“Mi—“

“Gue juga nggak bisa dandan. Gue nggak ka—“

“Mia!” Giska memotong gemas. “Berhenti jelek-jelekin diri lo sendiri”.

“Ya habis gue sebel, Gis. Sepuluh bulan.” Mia menunjukkan kesepuluh jarinya di depan wajah Giska. “Selama sepuluh bulan dia ngedeketin gue. SMS atau LINE atau Whatsapp tiap hari. Nanyain kabar dan lain-lain. Cuma untuk jadian sama cewek lain, terus putus, balik ngedeketin gue lagi, jadian sama cewek lain, putus, dan sekarang ngedeketin gue lagi.” Nada Mia naik seoktaf.

“Cowok kayak gitu mah jelas-jelas harus dibuang jauh-jauh,” Giska menatap sahabatnya.

“Tapi gue sayang sama dia, Gis,” Mia mengigit bagian bawah bibirnya. “Gue jatuh cinta”.

“Menurut penelitian, hormon jatuh cinta mencapai puncaknya satu sampai dua tahun. Setelah itu kadarnya bakal menurun, makanya hubungan cewek dan cowok nggak bisa cuma berlandaskan kata ‘jatuh cinta’,” Giska menaikkan kacamatanya,”Lagian, bisa aja elo nggak jatuh cinta. Elo cuma senang dikasih perhatian sama dia.”

“Tapi kalau gitu maksud semua perhatiannya selama ini apa dong? Salah gue dimana sih?”

“Elo nggak salah dimana-mana,” jawab Giska tenang.

“Iya, gue nggak salah dimana-mana. Muka sama otak gue kan udah nggak bisa diapa-apain lagi,” jawab Mia sinis.

“Ralat,” Giska menatap Mia tegas. “Salah lo satu. Lo nggak sayang sama diri sendiri. Lo nggak bisa berharap seseorang sayang sama lo kalau lo sendiri nggak sayang sama diri lo. Terima diri lo apa adanya, Mi. Kalau bukan lo yang ngelakuin itu, siapa lagi?”

Mia terdiam.

“Elo nggak jelek. Pikiran lo bahwa lo jelek yang bikin elo nggak menarik di mata orang lain. Kalau lo sendiri udah nggak percaya diri, gimana orang bisa ngeliat daya tarik lo?”

Mia menghela napas panjang. “Jadi menurut lo mending gue lupain aja dia?”

“Cowok kayak gitu nggak pantes buat lo. Elo layak dapat seseorang yang ngeliat lo melebihi fisik lo—melebihi hal-hal yang biasa dilihat dunia. Suatu saat gue yakin kok akan ada orang yang mengasihi lo dengan tulus. You’re worth the wait”.

“Jadi lupain nih?”

“Lupain. Hapus contact-nya. Dan nggak usah bahas-bahas dia lagi. A godly woman deserves a godly man, Mi. Masalahnya cuma kita bisa sabar buat nunggu waktunya Tuhan apa nggak”.

No comments:

Post a Comment