Monday, August 5, 2013

the genesis


Beberapa hari yang lalu seorang teman  mengirimkan saya foto. Foto cover perdana Genesis—buletin remaja gereja saya. It was two years ago, dan sekarang buletinnya sudah nggak terbit lagi. Hari ini saya iseng-iseng mencari buletin-buletin Genesis saya—pengen lihat tulisan-tulisan saya dulu seperti apa, but it seems nowhere to be found. Untungnya saya masih simpan file aslinya di komputer. Ada beberapa artikel dan cerpen, salah satunya saya post di sini ya: (just skip the short story to get to the main point of this post, hehe..)

Yoris melangkah masuk kelas tanpa memperhatikan jalan. Jari-jarinya sibuk menari di atas barisan tombol blackberry, sesekali ia tersenyum membaca time-line atau update status temannya yang ia anggap lucu.
“Bruuuk!” ia menabrak seseorang yang hendak keluar kelas.
“Awww!” jerit cewek itu, lebih karena terkejut daripada sakit.
“Sorry,” tukas Yoris refleks, ia melirik sekilas orang yang ditabraknya. Seorang gadis berwajah hispanik dengan rambut sebahu dan bando biru muda tengah menatapnya sengit.
“Maaf,” ulang Yoris, kali ini lebih bersungguh-sungguh. Ia ingat cewek yang masih berdarah Indonesia pindahan dari Spanyol itu, tapi siapa ya namanya? Ia lupa. Tak peduli juga. Toh, baru seminggu ia duduk di kelas barunya ini. Ia bukan tipe orang yang mudah mengingat orang baru, apalagi dengan banyaknya wajah asing di tahun ajaran baru seperti ini.
*
Abigail menyusuri pinggir lapangan basket yang membawanya menuju gerbang. Sekolah nampak sepi karena waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Sambil memegang kamera SLRnya, ia mencari-cari objek yang bagus untuk difoto. Sejak pindah ke Indonesia dua minggu lalu, ia tidak pernah bosan membidikkan kamera. Geliat kehidupan di Jakarta memberikannya nuansa yang berbeda dengan kampung halamannya, sesuatu yang lebih hidup, lebih beragam, dan lebih menantang.
Tiba-tiba lensanya menangkap sesosok tubuh yang tengah duduk di seberang lapangan.
“Hei,” Abigail menghampiri cowok itu,”Yoris kan?”
Yoris mengenali Abi sebagai cewek yang ditabraknya tadi pagi.
“Abigail. Abi,” Abi mengulurkan tangan lalu mengambil tempat di sebelah Yoris. Lagi-lagi bertemu cowok itu saat ia sedang sibuk dengan BB-nya.
“Kalian orang Indonesia memang suka sekali dengan yang namanya Blackberry ya?” tanya Abigail tanpa bermaksud menghakimi.
“Nggak cuma blackberry sih,” ralat Yoris,”Semua android, smartphone, apa pun itu sebutannya– yang bikin lo eksis di dunia maya dan lebih gampang berkomunikasi”.
Abi tersenyum kecut mendengarnya. “Kamu tahu? Di tempat ku dulu, kami nggak terbiasa melihat pemandangan seperti ini, saat teknologi malah menjadi barikade dengan orang di sebelah kita. We are not that into facebook or twitter”.
“Jadi menurut lo, facebook-an atau twitter-an itu salah?” tanya Yoris sinis, diam-diam ia kagum juga dengan bahasa Indonesia Abi yang fasih.
Kali ini Abi malah tertawa kecil, membuat wajah uniknya yang merupakan perpaduan Spanyol dan Jawa nampak cantik,“Aku nggak bilang itu salah kok. Bagus malah. Kita bisa tahu kabar teman-teman kita, tetap terhubung sekalipun udah nggak dekat lagi.”
"Yep! Bahkan, sosial media justru jadi sarana yang ampuh untuk membangun anak muda,” papar Yoris merasa di atas angin.
“Dan sarana paling ampuh juga untuk menghancurkannya,” balas Abi rileks.
“Orang Indonesia tuh terkenal ramah, suka bertegur sapa,“ Yoris berusaha mempertahankan pendapatnya,“Wajar kan kalau kami memanfaatkan teknologi untuk bersosialisasi?”
“Aku kan juga orang Indonesia…” Abi tidak suka diperlakukan seperti orang asing. “Tapi teknologi bisa membuat lo ‘lupa’ untuk tersenyum; untuk menatap lawan bicara lo seperti sekarang. Bukankah lebih baik kalau keramahan itu ditunjukan secara langsung daripada melalui gadget?” Abi tersenyum lembut,”Take a break, and you can enjoy a quality moment like this”.
Yoris tertegun, baru kali ini ia bertemu cewek sevokal ini. Ternyata dibalik wajah khasnya, Abi punya cara pikir yang juga tidak mainstream.
“Elo…” Yoris mencari kata yang tepat untuk mendeskripsikan gadis di hadapannya,”unik ya”.
Abi mengernyit. Entah pujian atau hinaan yang barusan dilontarkan Yoris.
“Gue suka,” lanjut Yoris, seolah mengerti kebingungan Abi.
Abi mendesah lega, lalu tersenyum di bawah langit sore yang menaungi mereka. Ia senang Yoris tidak menertawakan pendapatnya yang sering dianggap keluar jalur oleh orang lain.
Tenemos que converser mucho,” –Mungkin kita harus lebih banyak ngobrol seperti ini. Kini gantian alis Yoris yang bertaut tak mengerti.


Saya ingat untuk membuat satu artikel atau cerpen seperti ini dulu butuh waktu lama banget, dan butuh waktu berhari-hari untuk mengendapkan satu tulisan untuk dibaca lagi nantinya. Setelah diendapkan dan dibaca lagi, pasti banyak banget kalimat yang terasa janggal dan harus dikoreksi. Saya juga ingat banget, selama nulis di Genesis saya merasa aneh kalau membaca tulisan saya sendiri saat buletinnya sudah terbit. But that’s the process and I love it.

Kalau ingat masa-masa itu, saya bersyukur banget pernah jadi tim Genesis. Sebelum ada Genesis saya sempat nulis di mading. Dari mading dan Genesis itulah saya mulai suka banget sama nulis—senang rasanya tulisan saya bisa dibaca orang, and it means a lot to me.

Kalau dipikir-pikir, kecintaan saya menulis mungkin bisa dibilang dimulai dari gereja. And what I want to say is, kalau teman-teman diberi kesempatan melayani dan merasa terpanggil untuk pelayanan—dalam bidang apa pun itu, entah jadi pemusik, song leader, pemimpin liturgi, dan lainnya; coba pakai kesempatan itu sebaik-baiknya. Percaya deh, hal itu nggak sia-sia. Mungkin yang dari awalnya coba-coba main musik, suatu hari nanti bisa jago dan jadi suka banget sama musik; yang awalnya iseng-iseng bantuin jadi tim pudok, ternyata jadi suka sama fotografi dan menemukan bakatnya dibidang itu. Pelayanan nggak akan pernah jadi hal yang sia-sia selama kita ingat bahwa segala kemuliaan adalah bagi Dia.

No comments:

Post a Comment