Beberapa hari yang lalu seorang teman mengirimkan saya foto. Foto cover perdana Genesis—buletin remaja gereja
saya. It was two years ago, dan
sekarang buletinnya sudah nggak terbit lagi. Hari ini saya iseng-iseng mencari
buletin-buletin Genesis saya—pengen lihat tulisan-tulisan saya dulu
seperti apa, but it seems nowhere to be
found. Untungnya saya masih simpan file aslinya di komputer. Ada beberapa
artikel dan cerpen, salah satunya saya post
di sini ya: (just skip the short story to
get to the main point of this post, hehe..)
Yoris melangkah
masuk kelas tanpa memperhatikan jalan. Jari-jarinya sibuk menari di atas
barisan tombol blackberry, sesekali
ia tersenyum membaca time-line atau update status temannya yang ia anggap
lucu.
“Bruuuk!” ia
menabrak seseorang yang hendak keluar kelas.
“Awww!” jerit
cewek itu, lebih karena terkejut daripada sakit.
“Sorry,” tukas
Yoris refleks, ia melirik sekilas orang yang ditabraknya. Seorang gadis
berwajah hispanik dengan rambut sebahu dan bando biru muda tengah menatapnya
sengit.
“Maaf,” ulang
Yoris, kali ini lebih bersungguh-sungguh. Ia ingat cewek yang masih berdarah
Indonesia pindahan dari Spanyol itu, tapi siapa ya namanya? Ia lupa. Tak peduli
juga. Toh, baru seminggu ia duduk di kelas barunya ini. Ia bukan tipe orang
yang mudah mengingat orang baru, apalagi dengan banyaknya wajah asing di tahun
ajaran baru seperti ini.
*
Abigail
menyusuri pinggir lapangan basket yang membawanya menuju gerbang. Sekolah nampak
sepi karena waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Sambil memegang kamera
SLRnya, ia mencari-cari objek yang bagus untuk difoto. Sejak pindah ke
Indonesia dua minggu lalu, ia tidak pernah bosan membidikkan kamera. Geliat
kehidupan di Jakarta memberikannya nuansa yang berbeda dengan kampung
halamannya, sesuatu yang lebih hidup, lebih beragam, dan lebih menantang.
Tiba-tiba
lensanya menangkap sesosok tubuh yang tengah duduk di seberang lapangan.
“Hei,” Abigail
menghampiri cowok itu,”Yoris kan?”
Yoris mengenali
Abi sebagai cewek yang ditabraknya tadi pagi.
“Abigail. Abi,”
Abi mengulurkan tangan lalu mengambil tempat di sebelah Yoris. Lagi-lagi
bertemu cowok itu saat ia sedang sibuk dengan BB-nya.
“Kalian orang
Indonesia memang suka sekali dengan yang namanya Blackberry ya?” tanya Abigail tanpa bermaksud menghakimi.
“Nggak cuma blackberry sih,” ralat Yoris,”Semua android, smartphone, apa pun itu
sebutannya– yang bikin lo eksis di dunia maya dan lebih gampang berkomunikasi”.
Abi tersenyum
kecut mendengarnya. “Kamu tahu? Di tempat ku dulu, kami nggak terbiasa melihat
pemandangan seperti ini, saat teknologi malah menjadi barikade dengan orang di
sebelah kita. We are not that into
facebook or twitter”.
“Jadi menurut
lo, facebook-an atau twitter-an itu salah?” tanya Yoris sinis, diam-diam ia
kagum juga dengan bahasa Indonesia Abi yang fasih.
Kali ini Abi
malah tertawa kecil, membuat wajah uniknya yang merupakan perpaduan Spanyol dan
Jawa nampak cantik,“Aku nggak bilang itu salah kok. Bagus malah. Kita bisa tahu
kabar teman-teman kita, tetap terhubung sekalipun udah nggak dekat lagi.”
"Yep!
Bahkan, sosial media justru jadi sarana yang ampuh untuk membangun anak muda,”
papar Yoris merasa di atas angin.
“Dan sarana
paling ampuh juga untuk menghancurkannya,” balas Abi rileks.
“Orang Indonesia
tuh terkenal ramah, suka bertegur sapa,“ Yoris berusaha mempertahankan
pendapatnya,“Wajar kan kalau kami memanfaatkan teknologi untuk bersosialisasi?”
“Aku kan juga
orang Indonesia…” Abi tidak suka diperlakukan seperti orang asing. “Tapi
teknologi bisa membuat lo ‘lupa’ untuk tersenyum; untuk menatap lawan bicara lo
seperti sekarang. Bukankah lebih baik kalau keramahan itu ditunjukan secara
langsung daripada melalui gadget?”
Abi tersenyum lembut,”Take a break, and
you can enjoy a quality moment like this”.
Yoris tertegun,
baru kali ini ia bertemu cewek sevokal ini. Ternyata dibalik wajah khasnya, Abi
punya cara pikir yang juga tidak mainstream.
“Elo…” Yoris
mencari kata yang tepat untuk mendeskripsikan gadis di hadapannya,”unik ya”.
Abi mengernyit.
Entah pujian atau hinaan yang barusan dilontarkan Yoris.
“Gue suka,”
lanjut Yoris, seolah mengerti kebingungan Abi.
Abi mendesah lega, lalu tersenyum di bawah
langit sore yang menaungi mereka. Ia senang Yoris tidak menertawakan pendapatnya
yang sering dianggap keluar jalur oleh orang lain.
“Tenemos que converser mucho,” –Mungkin
kita harus lebih banyak ngobrol seperti ini. Kini gantian alis Yoris yang
bertaut tak mengerti.
Saya
ingat untuk membuat satu artikel atau cerpen seperti ini dulu butuh waktu lama
banget, dan butuh waktu berhari-hari untuk mengendapkan satu tulisan untuk
dibaca lagi nantinya. Setelah diendapkan dan dibaca lagi, pasti banyak banget kalimat
yang terasa janggal dan harus dikoreksi. Saya juga ingat banget, selama nulis
di Genesis saya merasa aneh kalau membaca tulisan saya sendiri saat buletinnya
sudah terbit. But that’s the process and
I love it.
Kalau
ingat masa-masa itu, saya bersyukur banget pernah jadi tim Genesis. Sebelum ada
Genesis saya sempat nulis di mading. Dari mading dan Genesis itulah saya mulai
suka banget sama nulis—senang rasanya tulisan saya bisa dibaca orang, and it means a lot to me.
Kalau
dipikir-pikir, kecintaan saya menulis mungkin bisa dibilang dimulai dari
gereja. And what I want to say is,
kalau teman-teman diberi kesempatan melayani dan merasa terpanggil untuk
pelayanan—dalam bidang apa pun itu, entah jadi pemusik, song leader, pemimpin liturgi, dan lainnya; coba pakai kesempatan
itu sebaik-baiknya. Percaya deh, hal itu nggak sia-sia. Mungkin yang dari
awalnya coba-coba main musik, suatu hari nanti bisa jago dan jadi suka banget
sama musik; yang awalnya iseng-iseng bantuin jadi tim pudok, ternyata jadi suka
sama fotografi dan menemukan bakatnya dibidang itu. Pelayanan nggak akan pernah
jadi hal yang sia-sia selama kita ingat bahwa segala kemuliaan adalah bagi Dia.
No comments:
Post a Comment