Saturday, August 17, 2013

pada sebuah perjalanan


Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada terlambat mencintai—James.


Bus kopaja yang ku tumpangi siang itu tampak lengang dengan hanya beberapa penumpang di dalamnya. Di bagian belakang terdapat sepasang kakek nenek yang duduk bersisian dengan Sang Nenek yang tertidur di bahu suaminya. Di dekat pintu duduk seorang ibu dan bayinya yang tengah merengek. Di bagian depan, seorang wanita paruh baya membawa banyak kantong penuh belanjaan dan menempati dua bangku sekaligus.

Aku menaiki bus dan memilih tempat di sebelah jendela. Bus kemudian melaju, menembus padat lalu lintas dan debu ibu kota. Tidak beberapa lama kemudian, bus kembali berhenti, seseorang duduk di sebelahku.

“Hai,” sapanya ramah. Pria berusia dua puluhan dengan kaos putih dan celana bermuda itu tersenyum. Penampilannya yang rapi dan bersih tampak kontras dengan lingkungan di sekitarnya.

“Bunganya cantik,” ia menunjuk lili di pangkuanku ketika aku tak kunjung merespon. “Buat pacar?”

“Bukan”. Aku tersenyum hambar sambil menggeleng,”Belum”.

“Belum?” ia tersenyum jenaka. “Belum pacaran tapi sudah kasih bunga?”

Aku menerawang jauh sebelum akhirnya menjawab. “Kalau nggak bisa lewat kata-kata, lewat perbuatan cukup, kan?”

Ia mengangguk. “Tapi kalau memang sayang seharusnya bilang aja.”

“Andai hidup sesederhana itu, ya,” aku menanggapi, entah kenapa rautnya berubah muram saat mendengar jawabanku. Seperti ada awan mendung yang menggelayut di sana.

“Lalu, apa yang membuat kamu tidak bisa bilang?” ia bertanya.

“Kalau aku tidak mau jawab, boleh?” aku tersenyum tipis.

Ia mengangguk. “Jangan sampai terlambat,” bisiknya,”Nggak ada yang lebih menyakitkan daripada terlambat mencintai”.

Aku menoleh menatapnya. Air mukanya tampak lelah, seperti menanggung beban yang berat terlalu lama. “Kamu pernah terlambat mengatakan cinta?” tanyaku.

Ia menghela napas panjang. “Kira-kira seperti itu”.

“Kenapa?”

Ia tidak menjawab.

“Dia pergi ke luar negri? Sudah punya pacar lain?” tebakku, entah mengapa aku jadi penasaran. Lalu, kemudian tenggorokanku tercekat. “Ia… Sudah meninggal?” bisikku.

Laki-laki itu tertawa. Aku lega dapat membuatnya tertawa. “Salah semua”.

“Lalu, kenapa?”

“Kalau aku tidak mau jawab, boleh?” ia mengerling jenaka. Aku tidak bisa mendebatnya. “Yang jelas aku sudah tidak bisa mengatakan aku menyayanginya lagi sekali pun aku mau. Aku bahkan tidak bisa menjaganya lagi”.

Aku berusaha memikirkan berbagai kemungkinan, sampai akhirnya bus berhenti di tempat tujuanku. “Aku harus turun di sini,” pamitku, ia membiarkanku lewat.

“Kalau orang yang mau kamu beri bunga itu nggak bisa mengatakan cinta padamu. Kamu boleh cari yang lain loh, Kiara,” serunya sebelum kakiku menjejak aspal.

Aku berbalik. “Kamu… Tadi bilang apa?”

Kakiku hendak menaiki kembali tangga bus, namun kenek yang bertugas meneriakiku dan supir bus tersebut memacu kendaraannya.

“Jamie?” bisikku tak percaya. Kakiku berlari mengejar bus tersebut. “Jamie!” Beberapa penumpang menoleh dan mengiraku gila. “Jamie, Jamie, Jamie!” Aku mengejar dengan segenap kekuatan yang kumiliki, namun tentu saja kendaraan itu lebih cepat dari kakiku.

Aku meluruh ke tanah saat bus tersebut akhirnya lenyap dari pandangan. Air mata turun begitu saja membasahi pipiku. Aku berada sedekat itu dengannya dan tidak menyadarinya.



Aku terdiam menatap sepetak tanah di hadapanku. Satu tahun lalu tanah ini belum ditutupi rumput hijau yang membuatnya tampak apik seperti sekarang.

“Jamie, aku rasa aku baru saja bertemu denganmu”. Aku meletakkan lili putih di atas nisannya. “Terima kasih karena tidak pernah melupakanku”.

No comments:

Post a Comment