Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada
terlambat mencintai—James.
Bus
kopaja yang ku tumpangi siang itu tampak lengang dengan hanya beberapa
penumpang di dalamnya. Di bagian belakang terdapat sepasang kakek nenek yang
duduk bersisian dengan Sang Nenek yang tertidur di bahu suaminya. Di dekat
pintu duduk seorang ibu dan bayinya yang tengah merengek. Di bagian depan,
seorang wanita paruh baya membawa banyak kantong penuh belanjaan dan menempati
dua bangku sekaligus.
Aku
menaiki bus dan memilih tempat di sebelah jendela. Bus kemudian melaju,
menembus padat lalu lintas dan debu ibu kota. Tidak beberapa lama kemudian, bus
kembali berhenti, seseorang duduk di sebelahku.
“Hai,”
sapanya ramah. Pria berusia dua puluhan dengan kaos putih dan celana bermuda
itu tersenyum. Penampilannya yang rapi dan bersih tampak kontras dengan lingkungan
di sekitarnya.
“Bunganya
cantik,” ia menunjuk lili di pangkuanku ketika aku tak kunjung merespon. “Buat
pacar?”
“Bukan”.
Aku tersenyum hambar sambil menggeleng,”Belum”.
“Belum?”
ia tersenyum jenaka. “Belum pacaran tapi sudah kasih bunga?”
Aku menerawang
jauh sebelum akhirnya menjawab. “Kalau nggak bisa lewat kata-kata, lewat
perbuatan cukup, kan?”
Ia
mengangguk. “Tapi kalau memang sayang seharusnya bilang aja.”
“Andai
hidup sesederhana itu, ya,” aku menanggapi, entah kenapa rautnya berubah muram
saat mendengar jawabanku. Seperti ada awan mendung yang menggelayut di sana.
“Lalu,
apa yang membuat kamu tidak bisa bilang?” ia bertanya.
“Kalau
aku tidak mau jawab, boleh?” aku tersenyum tipis.
Ia
mengangguk. “Jangan sampai terlambat,” bisiknya,”Nggak ada yang lebih
menyakitkan daripada terlambat mencintai”.
Aku
menoleh menatapnya. Air mukanya tampak lelah, seperti menanggung beban yang
berat terlalu lama. “Kamu pernah terlambat mengatakan cinta?” tanyaku.
Ia
menghela napas panjang. “Kira-kira seperti itu”.
“Kenapa?”
Ia
tidak menjawab.
“Dia
pergi ke luar negri? Sudah punya pacar lain?” tebakku, entah mengapa aku jadi
penasaran. Lalu, kemudian tenggorokanku tercekat. “Ia… Sudah meninggal?”
bisikku.
Laki-laki
itu tertawa. Aku lega dapat membuatnya tertawa. “Salah semua”.
“Lalu,
kenapa?”
“Kalau
aku tidak mau jawab, boleh?” ia mengerling jenaka. Aku tidak bisa mendebatnya.
“Yang jelas aku sudah tidak bisa mengatakan aku menyayanginya lagi sekali pun
aku mau. Aku bahkan tidak bisa menjaganya lagi”.
Aku
berusaha memikirkan berbagai kemungkinan, sampai akhirnya bus berhenti di
tempat tujuanku. “Aku harus turun di sini,” pamitku, ia membiarkanku lewat.
“Kalau
orang yang mau kamu beri bunga itu nggak bisa mengatakan cinta padamu. Kamu
boleh cari yang lain loh, Kiara,” serunya sebelum kakiku menjejak aspal.
Aku
berbalik. “Kamu… Tadi bilang apa?”
Kakiku
hendak menaiki kembali tangga bus, namun kenek yang bertugas
meneriakiku dan supir bus tersebut memacu kendaraannya.
“Jamie?”
bisikku tak percaya. Kakiku berlari mengejar bus tersebut. “Jamie!” Beberapa
penumpang menoleh dan mengiraku gila. “Jamie, Jamie, Jamie!” Aku mengejar
dengan segenap kekuatan yang kumiliki, namun tentu saja kendaraan itu lebih
cepat dari kakiku.
Aku
meluruh ke tanah saat bus tersebut akhirnya lenyap dari pandangan. Air mata
turun begitu saja membasahi pipiku. Aku berada sedekat itu dengannya dan tidak
menyadarinya.
Aku
terdiam menatap sepetak tanah di hadapanku. Satu tahun lalu tanah ini belum
ditutupi rumput hijau yang membuatnya tampak apik seperti sekarang.
“Jamie,
aku rasa aku baru saja bertemu denganmu”. Aku meletakkan lili putih di atas nisannya. “Terima
kasih karena tidak pernah melupakanku”.
No comments:
Post a Comment