“Hai”
“Hai,”
ada jeda yang lama di antara kami. Hening yang menggelayut di udara membuatku
sesak.
“Ingat
tahun-tahun pertama kita baru saling kenal?” pertanyaan itu tiba-tiba terlontar
dari mulut Richie.
Aku
mengangguk, sementara Richie tersenyum lemah mengenang masa-masa itu. “Ingat
waktu gue berkali-kali menahan lo sepulang sekolah untuk ngejelasin gue tentang
fisika dan biologi?”
Aku
mengangguk lagi.
“Elo
tahu? Gue sebenarnya nggak pernah benar-benar butuh dijelasin. Gue udah ngerti
apa yang dijelasin guru. Gue cuma pengen ngobrol sama lo—gadis pendiam yang
nggak pernah sekali pun kena remedial. Waktu itu gue penasaran sama isi kepala
lo,” Richie tertawa kecil.
“Dan
gimana pendapat lo setelah berhasil ngobrol sama gue?” tanyaku.
“Isi
kepala lo nggak seserius yang gue kira. Elo kekanak-kanakan,” Richie nyengir.
“…”
“Elo
ingat waktu catatan sejarah lo kebawa gue dan besoknya kita ulangan?” Richie
bertanya lagi.
“Elo
nganterin buku gue malam-malam,” aku ingat karena hari itu untuk pertama
kalinya Mama mengajakku ngobrol panjang lebar tentang pacaran.
“Sebenarnya
hari itu gue sengaja bawa buku catatan lo”.
Aku
membelalak. “Elo serius? Gimana kalau gue sampai nggak bisa selesai belajar?”
“Dengan
otak encer lo itu?” Richie tertawa santai,”Impossible”.
“Oh,”
Richie teringat sesuatu,”Ingat musim hujan saat kita kelas sepuluh? Kita pernah
nungguin hujan berhenti berdua karena nggak bisa pulang”.
“Payung
gue ketinggalan hari itu,” ingatku. “Elo juga, kan?”
Richie
menggeleng. “Payung gue ada di tas hari itu. Tadinya gue pengen nganterin lo
pulang, tapi kayaknya nungguin hujan reda bisa ngasih gue waktu lebih lama
bareng lo”.
“Really? Masih berapa banyak lagi trik
yang lo pakai untuk ngedeketin gue?” Aku tertawa tak percaya,”Kok bisa-bisanya
ya gue nggak nyadar dulu?”
“Ingat waktu ban sepeda lo kempes pas pulang sekolah?” Richie kembali bertanya.
“Sore
itu lo nemenin gue jalan kaki sampai rumah,” aku tersenyum mengenang momen
tersebut. “Di tengah jalan kita mampir makan es krim bareng di De Ice.”
Aku
tiba-tiba menyadari sesuatu. “Jangan bilang elo—“
“Gue
yang ngempesin ban sepeda lo,” Richie memotong kalimatku sambil tertawa,”Maaf
ya”.
Aku
menatapnya tak percaya. “Gue nggak tahu kenapa gue bisa sayang sama elo. Salah
satu anak paling bandel di sekolah”.
“Gue
juga nggak tahu,” Richie menatapku sambil tersenyum,”Yang gue tahu, as I know you more, I care about you even
more. Dan itu membuat gue melakukan apa pun untuk ngedeketin lo”.
“Elo
dapat apa yang elo mau,” aku tersenyum. Suaraku mulai bergetar. Aku menggigit
bagian bawah bibirku. Aku tahu saat ini akan tiba. Saat aku tidak sanggup lagi
menahan apa yang selama ini ku tahan. Melihat Richie di sini, terbaring di
tempat ini, aku membiarkan air mataku menetes. Air mata pertama selama aku
menemaninya di tempat ini.
“Elo
pernah janji nggak akan nangis,” Richie menyeka air mataku lembut. Bibirnya
pucat, tubuhnya dipenuhi berbagai macam selang. Hatiku selalu perih melihatnya
seperti ini.
“Gue
nggak akan nangis kalau lo sembuh,” aku tidak dapat lagi menahan isakanku.
Semua ‘pengakuan dosa’ Richie barusan terasa seperti perpisahan bagiku.
Richie
diam. Aku tahu ia tidak bisa berjanji untuk sembuh. Aku tahu ia lelah. Aku tahu
ia tidak bisa pergi begitu saja meninggalkanku. Aku tahu, aku tahu, aku tahu.
Richie
menggenggam tanganku. “It’s hard, isn’t
it? Kadang gue merasa ini terlalu berat untuk kita. But we’ve already made a lot of good memories, bahkan sebelum kita
pacaran. Gue nggak akan bilang itu cukup, gue sendiri nggak pernah merasa
cukup. Tapi gue ingin elo mengingat semua it—“
“Stop!”
aku menutup telingaku. Aku tidak ingin mendengar kalimat seperti ini dari mulut
Richie. “Jangan ngomong kayak gi—“
“Richie?”
Richie bernapas dengan susah payah di hadapanku. Dadanya naik turun dan aku
dapat mendengar setiap usahanya untuk menyedot oksigen. “Richie!” Gelombang
panik menguasaiku. “Dokter!” Aku menekan bel berkali-kali. “Richie! Richie!
Richie—“
Sepasang
tangan menarikku menjauh. Dua orang suster dan seorang dokter memasuki ruangan.
“Tunggu di luar dulu ya,” suster yang memegangku berbisik.
Aku
berdiri di depan pintu. Tanganku bergetar hebat. Air mataku tidak dapat
berhenti mengalir. Kakiku terasa lemas hingga seluruh tubuhku meluruh ke lantai.
Kilasan momen-momen yang pernah kuhabiskan bersama Richie berseliweran bagai
rentetan film di kepalaku.
Aku.
Richie.
Andai
waktu bisa diputar.
Seharusnya aku menciptakan lebih banyak memori bersamanya.
No comments:
Post a Comment