Friday, August 2, 2013

Do you remember?


“Hai”

“Hai,” ada jeda yang lama di antara kami. Hening yang menggelayut di udara membuatku sesak.

“Ingat tahun-tahun pertama kita baru saling kenal?” pertanyaan itu tiba-tiba terlontar dari mulut Richie.

Aku mengangguk, sementara Richie tersenyum lemah mengenang masa-masa itu. “Ingat waktu gue berkali-kali menahan lo sepulang sekolah untuk ngejelasin gue tentang fisika dan biologi?”

Aku mengangguk lagi.

“Elo tahu? Gue sebenarnya nggak pernah benar-benar butuh dijelasin. Gue udah ngerti apa yang dijelasin guru. Gue cuma pengen ngobrol sama lo—gadis pendiam yang nggak pernah sekali pun kena remedial. Waktu itu gue penasaran sama isi kepala lo,” Richie tertawa kecil.

“Dan gimana pendapat lo setelah berhasil ngobrol sama gue?” tanyaku.

“Isi kepala lo nggak seserius yang gue kira. Elo kekanak-kanakan,” Richie nyengir.

“…”

“Elo ingat waktu catatan sejarah lo kebawa gue dan besoknya kita ulangan?” Richie bertanya lagi.

“Elo nganterin buku gue malam-malam,” aku ingat karena hari itu untuk pertama kalinya Mama mengajakku ngobrol panjang lebar tentang pacaran.

“Sebenarnya hari itu gue sengaja bawa buku catatan lo”.

Aku membelalak. “Elo serius? Gimana kalau gue sampai nggak bisa selesai belajar?”

“Dengan otak encer lo itu?” Richie tertawa santai,”Impossible”.

“Oh,” Richie teringat sesuatu,”Ingat musim hujan saat kita kelas sepuluh? Kita pernah nungguin hujan berhenti berdua karena nggak bisa pulang”.

“Payung gue ketinggalan hari itu,” ingatku. “Elo juga, kan?”

Richie menggeleng. “Payung gue ada di tas hari itu. Tadinya gue pengen nganterin lo pulang, tapi kayaknya nungguin hujan reda bisa ngasih gue waktu lebih lama bareng lo”.

Really? Masih berapa banyak lagi trik yang lo pakai untuk ngedeketin gue?” Aku tertawa tak percaya,”Kok bisa-bisanya ya gue nggak nyadar dulu?”

“Ingat waktu ban sepeda lo kempes pas pulang sekolah?” Richie kembali bertanya.

“Sore itu lo nemenin gue jalan kaki sampai rumah,” aku tersenyum mengenang momen tersebut. “Di tengah jalan kita mampir makan es krim bareng di De Ice.”

Aku tiba-tiba menyadari sesuatu. “Jangan bilang elo—“

“Gue yang ngempesin ban sepeda lo,” Richie memotong kalimatku sambil tertawa,”Maaf ya”.

Aku menatapnya tak percaya. “Gue nggak tahu kenapa gue bisa sayang sama elo. Salah satu anak paling bandel di sekolah”.

“Gue juga nggak tahu,” Richie menatapku sambil tersenyum,”Yang gue tahu, as I know you more, I care about you even more. Dan itu membuat gue melakukan apa pun untuk  ngedeketin lo”.

“Elo dapat apa yang elo mau,” aku tersenyum. Suaraku mulai bergetar. Aku menggigit bagian bawah bibirku. Aku tahu saat ini akan tiba. Saat aku tidak sanggup lagi menahan apa yang selama ini ku tahan. Melihat Richie di sini, terbaring di tempat ini, aku membiarkan air mataku menetes. Air mata pertama selama aku menemaninya di tempat ini.

“Elo pernah janji nggak akan nangis,” Richie menyeka air mataku lembut. Bibirnya pucat, tubuhnya dipenuhi berbagai macam selang. Hatiku selalu perih melihatnya seperti ini.

“Gue nggak akan nangis kalau lo sembuh,” aku tidak dapat lagi menahan isakanku. Semua ‘pengakuan dosa’ Richie barusan terasa seperti perpisahan bagiku.

Richie diam. Aku tahu ia tidak bisa berjanji untuk sembuh. Aku tahu ia lelah. Aku tahu ia tidak bisa pergi begitu saja meninggalkanku. Aku tahu, aku tahu, aku tahu.

Richie menggenggam tanganku. “It’s hard, isn’t it? Kadang gue merasa ini terlalu berat untuk kita. But we’ve already made a lot of good memories, bahkan sebelum kita pacaran. Gue nggak akan bilang itu cukup, gue sendiri nggak pernah merasa cukup. Tapi gue ingin elo mengingat semua it—“

“Stop!” aku menutup telingaku. Aku tidak ingin mendengar kalimat seperti ini dari mulut Richie. “Jangan ngomong kayak gi—“

“Richie?” Richie bernapas dengan susah payah di hadapanku. Dadanya naik turun dan aku dapat mendengar setiap usahanya untuk menyedot oksigen. “Richie!” Gelombang panik menguasaiku. “Dokter!” Aku menekan bel berkali-kali. “Richie! Richie! Richie—“

Sepasang tangan menarikku menjauh. Dua orang suster dan seorang dokter memasuki ruangan. “Tunggu di luar dulu ya,” suster yang memegangku berbisik.

Aku berdiri di depan pintu. Tanganku bergetar hebat. Air mataku tidak dapat berhenti mengalir. Kakiku terasa lemas hingga seluruh tubuhku meluruh ke lantai. Kilasan momen-momen yang pernah kuhabiskan bersama Richie berseliweran bagai rentetan film di kepalaku.

Aku. Richie.

Andai waktu bisa diputar.
Seharusnya aku menciptakan lebih banyak memori bersamanya.

No comments:

Post a Comment