Hujan.
Lagi.
Satya
menatap langit pekat di atasnya. Lobi Jakarta Prime School jadi lebih padat
dari biasanya karena anak-anak berdesak-desakan menunggu jemputan. Sambil
menyandang ranselnya ia berbalik ke kelas, setengah bersyukur karena rapat OSIS
hari ini membuatnya tidak usah pulang di hujan sederas ini. Namun saat hendak
berbalik, ekor matanya menangkap gestur seseorang.
Alika.
Gadis berambut panjang sebahu itu menyodorkan payungnya pada ibu kantin yang tidak
bisa pulang karena hujan. Wanita separuh baya yang terlihat renta itu menggeleng,
namun Alika bersikeras menaruh payungnya di tangan ibu tersebut. Akhirnya,
sambil mengucapkan terima kasih, ibu itu menerimanya dan berjalan dalam hujan.
Satya
tidak begitu mengenal Alika. Gadis itu tidak pernah aktif dalam kegiatan
sekolah. Satu-satunya hal yang ia tahu tentang mantan teman sekelasnya itu
adalah Alika sangat cerdas. Selalu menempati posisi juara umum di sekolahnya.
Sejak mereka beda kelas di tahun kedua mereka, Satya tidak pernah lagi
mengobrol dengan gadis itu.
Alika
memandang tirai hujan di hadapannya. Ia berdiri di sana. Seolah menikmati
setiap tetes yang jatuh dari langit. Impuls, Satya membuka ranselnya.
“Ini,”
Satya kini sudah berdiri di hadapan Alika, membuat gadis itu sedikit terkejut
melihat payung lipat yang disodorkan padanya. “Elo mau pulang, kan?”
Alika
terlihat ragu.
“Gue
pulangnya masih lama,” Satya meyakinkan gadis di hadapannya,”Rapat OSIS. Nanti
pas gue pulang paling juga hujannya udah berhenti. Elo pake payung gue aja”.
“Tapi—,”
Alika membuka mulutnya.
“Udah,”
Satya meraih tangan Alika dan memaksa gadis itu menerima payungnya. “Terima
aja,” Satya tersenyum lalu berbalik pergi.
Alika
terpaku di tempatnya.
Pertama,
Satya menghampirinya dan berbicara padanya.
Kedua,
cowok itu meminjamkan payungnya.
Mungkinkah
Satya memperhatikan tindakannya saat ia meminjamkan payung untuk Bu Narsih
tadi?
Alika
menatap payung yang kini berada dalam genggamannya. Wajahnya terasa panas di
cuaca sedingin ini. Jantungnya yang sejak tadi memompa keras mengalirkan
sensasi hangat ke sekujur tubuhnya. Dan seulas senyum yang tidak bisa ditahan
lagi terulas di wajahnya. Ia pikir hari ini tidak akan datang. Ia pikir momen
seperti tadi hanya ada dalam khayalannya saja.
*
Satya
meregangkan tubuhnya saat keluar dari kelas. Rapat OSIS dan hujan memang bukan
kombinasi yang tepat. Ia menguap lebar. Sudah satu jam hujan mengguyur dan
masih belum ada tanda sedikit pun akan berhenti. Payungnya sudah ia pinjamkan
pada Alika, dan itu berarti ia harus menunggu hujan reda agar bisa pulang.
Langkahnya
terhenti saat ia melihat sosok seorang gadis yang tertidur pulas di bangku
lobi.
“Alika?”
Satya menatap wajah mungil di hadapannya. Mulut gadis itu yang sedikit terbuka
membuat Satya tidak dapat menahan senyumnya. Rasanya ia bisa menghabiskan waktu
lama-lama menikmati pemandangan tersebut. Dalam suasana seperti ini, Alika
seperti peri hujan yang sedang tertidur—lupa dengan pekerjaannya.
“Alika,”
Satya mengguncang bahu gadis itu pelan.
Alika
mengerjap sebentar, lalu terkejut saat mendapati wajah Satya berada begitu
dekat wajahnya.
“Kok
belum pulang?” Satya bertanya, lalu mengalihkan pandangannya pada payung yang
berada di tangan Alika. “Payungnya rusak ya?”
Alika
menggeleng. “Ehm,” gadis itu mengigit bagian bawah bibirnya. “Tadi gue pikir
hujannya nggak akan berhenti secepat itu. Ternyata gue benar ya?” Alika menatap
keluar,”Masih hujan. Elo nggak akan bisa pulang kalau masih hujan, kan?”
Satya
tertegun sejenak, lalu tersenyum hangat. Ia meraih payung miliknya kemudian
membukanya. “Kalau gitu, mau pulang bareng?”
Mata
Alika melebar. “Maksud gue, elo pulang aja,” ia berkata gugup, mendadak
kehilangan kalimat,”Biar gue—“
“Ayo,”
Satya menarik pergelangan tangan Alika. “Mana mungkin gue ngebiarin cewek
nunggu sendirian?”
Alika
terdiam, namun ia menurut. Berada di bawah payung yang sama dengan Satya si
ketua OSIS? Bukan, Alika mengoreksi
dalam hati, dengan Satya yang diam-diam disukainya sejak dulu? Alika bahkan
tidak berani memimpikan hal seperti ini.
Satya
yang berada di sebelahnya tertawa kecil.
“Kenapa?”
Alika bertanya pelan, takut pikirannya terbaca oleh Satya.
“Nggak,”
Satya menggeleng. “Gue lagi mikir, kemana aja gue selama ini sampai nggak
pernah benar-benar kenal orang kayak elo”.
Alika
tersenyum kikuk. Sebagian dari dirinya berusaha mengontrol detak jantungnya
yang kelewat cepat. Hari ini, di sini, di bawah payung biru dongker yang
melindunginya dari hujan, Alika merasa perasaannya layak untuk diperjuangkan.
picturetakenfrom:weheartit.com |
No comments:
Post a Comment