Di saat kamu berada di antara dua pilihan yang sulit, percayalah, hatimu selalu mengetahui keinginannya—Jo
picturetakenfrom:weheartit.com |
Kara
menatap langit senja yang memayunginya. Sore seindah ini pasti akan jadi
menyenangkan kalau saja kondisi hatinya tidak sepahit sekarang. "Pergi…
Nggak… Pergi… Nggak…" Kara menghembuskan napas berat.
"Otago
kan nggak sejauh itu, nggak sampai sehari semalam juga nyampe," ia teringat
kata-kata Jo, sahabatnya, saat dirinya mengeluh bingung untuk menerima beasiswa
yang didapatnya.
"Elo
bodoh, Kar, kalau sampai nggak ngambil beasiswa itu. Coba pikirin berapa banyak
orang yang ngantri untuk dapat kesempatan itu," Lila, teman sebangkunya,
juga memberikan dukungan yang senada.
"Coba
ingat-ingat lagi, kenapa awalnya kamu memutuskan untuk mengajukan
beasiswa?" Kini gantian suara Ayah yang terngiang,"Kamu bilang ingin
jadi orang sukses kan? Ingin belajar apa namanya itu? Chemical engineering?"
"Tapi
sukses kan nggak harus jauh-jauh nyebrang samudera," begitu kata Bunda
yang masih nggak yakin anak sulungnya bisa survive
di negeri orang,"Di Indonesia kan juga bisa".
Kalau aku, Kara membatin, apa yang sebenarnya aku inginkan?
Benar
kata Ayah, bahwa ia sangat menginginkan beasiswa itu. Otago adalah universitas
impiannya sejak dulu. Belajar di negeri setenang New Zealand sudah menjadi
angan-angannya sejak ia berlibur ke sana dua tahun lalu. Jurusan yang
didapatnya juga sudah sesuai dengan cita-citanya. Ia juga senang setengah mati
begitu mendapat email yang mengatakan bahwa ia menerima full scholarship di sana. Tapi, di saat tanggal keberangkatannya
semakin dekat, ia semakin punya banyak alasan untuk tetap tinggal.
Apa
ia bisa hidup sendiri di sana? Apa ia sanggup menjalani hari tanpa Jo,
sahabatnya yang selama ini selalu membantunya. Apa ia rela melepas karirnya di
dunia musik yang baru saja dimulai? Pergi ke Otago berarti tidak jadi menggelar
resital harpa keduanya, pergi ke Otago berarti vakum di industri musik selama
entah berapa lama. Selain itu, ia juga masih ingin jadi relawan untuk Alfabet,
sebuah organisasi non profit milik sepupunya yang bergerak di bidang pendidikan
untuk anak jalanan. Tahun ini rencanaya mereka akan mengadakan tur untuk
memperkenalkan organisasi tersebut.
Kara
terlalu mencintai seluruh kegiatannya di Jakarta. Seluruh hidupnya terasa
lengkap di sini. Chemical engineering
kan nggak harus di Otago, hati kecilnya berbisik. Tapi di sana, ia pasti akan
mendapat ilmu lebih. Belajar lebih mandiri, mengenal kultur dan budaya negara
lain. Jadi sukarelawan kan juga nggak harus di Jakarta. Di sana ia masih bisa
mencari organisasi dan bergabung di dalamnya. Di sana ia juga masih bisa main
musik kalau mau.
Kara
menerawang jauh ke depan, dan tanpa ia sadari, Jo sudah berdiri di sebelahnya.
"Masih bingung?" tanya cowok itu.
"Kadang
gue berharap gue nggak pernah apply beasiswa
ke Otago. Diterima cuma bikin gue tambah bingung".
"Coba
dengerin kata hati lo," Jo tersenyum.
"Hati
gue bingung, Jo," Kara merasa lelah. Capek memikirkan untung dan ruginya
untuk setiap pilihan yang hendak diambilnya.
"Kalau
gitu, let's try this," Jo
mengeluarkan dompetnya, dan mengambil sebuah koin dari sana.
"Elo
mau menentukan pilihan hidup gue dengan ngelempar koin?" Kara tertawa.
"Coba
dulu," Jo meyakinkan,"Angka untuk Otago, gambar untuk tetap tinggal
di sini. Setuju?"
Kara
diam sejenak. Konyol rasanya menentukan pilihan sepenting ini dengan undian
koin, namun akhirnya ia mengangguk juga.
Jo
melemparkan koin ke udara. Kara memperhatikan koin itu melayang sebelum
akhirnya kalah oleh gravitasi dan mendarat di punggung tangan Jo. Cowok itu
menutup koin dengan tangannya yang satu lagi. "Angka, atau gambar?"
Kara
menggigit bagian bawah bibirnya dengan cemas. Untuk sepersekian detik selama
koin itu melayang bebas di udara, ia berharap hasilnya adalah angka.
"Angka".
Jo
membuka tangannya. "Then, Otago it
is," Jo memperlihatkan koinnya.
Kara
mengenyit,"Tapi hasilnya kan gambar".
"Yang
penting bukan hasilnya, Kar," Jo menyerahkan koinnya kepada
Kara,"Tapi apa yang lo harapin dari hasilnya. Elo berharap angka kan? Itu
artinya, di hati lo yang terdalam, elo memilih pergi".
Kara
menatap koin di tangannya. "Otago".
"Suatu
hari nanti, kalau elo diperhadapkan dengan dua pilihan sulit seperti hari ini,
elo akan tahu bahwa hati lo tetap menginginkan salah satunya lebih besar
daripada yang lain".
No comments:
Post a Comment