Tuesday, April 16, 2013

Melempar Mimpi


Di saat kamu berada di antara dua pilihan yang sulit, percayalah, hatimu selalu mengetahui keinginannya—Jo
picturetakenfrom:weheartit.com

Kara menatap langit senja yang memayunginya. Sore seindah ini pasti akan jadi menyenangkan kalau saja kondisi hatinya tidak sepahit sekarang. "Pergi… Nggak… Pergi… Nggak…" Kara menghembuskan napas berat.

"Otago kan nggak sejauh itu, nggak sampai sehari semalam juga nyampe," ia teringat kata-kata Jo, sahabatnya, saat dirinya mengeluh bingung untuk menerima beasiswa yang didapatnya.

"Elo bodoh, Kar, kalau sampai nggak ngambil beasiswa itu. Coba pikirin berapa banyak orang yang ngantri untuk dapat kesempatan itu," Lila, teman sebangkunya, juga memberikan dukungan yang senada.

"Coba ingat-ingat lagi, kenapa awalnya kamu memutuskan untuk mengajukan beasiswa?" Kini gantian suara Ayah yang terngiang,"Kamu bilang ingin jadi orang sukses kan? Ingin belajar apa namanya itu? Chemical engineering?"

"Tapi sukses kan nggak harus jauh-jauh nyebrang samudera," begitu kata Bunda yang masih nggak yakin anak sulungnya bisa survive di negeri orang,"Di Indonesia kan juga bisa".

Kalau aku, Kara membatin, apa yang sebenarnya aku inginkan?

Benar kata Ayah, bahwa ia sangat menginginkan beasiswa itu. Otago adalah universitas impiannya sejak dulu. Belajar di negeri setenang New Zealand sudah menjadi angan-angannya sejak ia berlibur ke sana dua tahun lalu. Jurusan yang didapatnya juga sudah sesuai dengan cita-citanya. Ia juga senang setengah mati begitu mendapat email yang mengatakan bahwa ia menerima full scholarship di sana. Tapi, di saat tanggal keberangkatannya semakin dekat, ia semakin punya banyak alasan untuk tetap tinggal.

Apa ia bisa hidup sendiri di sana? Apa ia sanggup menjalani hari tanpa Jo, sahabatnya yang selama ini selalu membantunya. Apa ia rela melepas karirnya di dunia musik yang baru saja dimulai? Pergi ke Otago berarti tidak jadi menggelar resital harpa keduanya, pergi ke Otago berarti vakum di industri musik selama entah berapa lama. Selain itu, ia juga masih ingin jadi relawan untuk Alfabet, sebuah organisasi non profit milik sepupunya yang bergerak di bidang pendidikan untuk anak jalanan. Tahun ini rencanaya mereka akan mengadakan tur untuk memperkenalkan organisasi tersebut.

Kara terlalu mencintai seluruh kegiatannya di Jakarta. Seluruh hidupnya terasa lengkap di sini. Chemical engineering kan nggak harus di Otago, hati kecilnya berbisik. Tapi di sana, ia pasti akan mendapat ilmu lebih. Belajar lebih mandiri, mengenal kultur dan budaya negara lain. Jadi sukarelawan kan juga nggak harus di Jakarta. Di sana ia masih bisa mencari organisasi dan bergabung di dalamnya. Di sana ia juga masih bisa main musik kalau mau.

Kara menerawang jauh ke depan, dan tanpa ia sadari, Jo sudah berdiri di sebelahnya. "Masih bingung?" tanya cowok itu.

"Kadang gue berharap gue nggak pernah apply beasiswa ke Otago. Diterima cuma bikin gue tambah bingung".

"Coba dengerin kata hati lo," Jo tersenyum.

"Hati gue bingung, Jo," Kara merasa lelah. Capek memikirkan untung dan ruginya untuk setiap pilihan yang hendak diambilnya.

"Kalau gitu, let's try this," Jo mengeluarkan dompetnya, dan mengambil sebuah koin dari sana.

"Elo mau menentukan pilihan hidup gue dengan ngelempar koin?" Kara tertawa.

"Coba dulu," Jo meyakinkan,"Angka untuk Otago, gambar untuk tetap tinggal di sini. Setuju?"

Kara diam sejenak. Konyol rasanya menentukan pilihan sepenting ini dengan undian koin, namun akhirnya ia mengangguk juga.

Jo melemparkan koin ke udara. Kara memperhatikan koin itu melayang sebelum akhirnya kalah oleh gravitasi dan mendarat di punggung tangan Jo. Cowok itu menutup koin dengan tangannya yang satu lagi. "Angka, atau gambar?"

Kara menggigit bagian bawah bibirnya dengan cemas. Untuk sepersekian detik selama koin itu melayang bebas di udara, ia berharap hasilnya adalah angka. "Angka".

Jo membuka tangannya. "Then, Otago it is," Jo memperlihatkan koinnya.

Kara mengenyit,"Tapi hasilnya kan gambar".

"Yang penting bukan hasilnya, Kar," Jo menyerahkan koinnya kepada Kara,"Tapi apa yang lo harapin dari hasilnya. Elo berharap angka kan? Itu artinya, di hati lo yang terdalam, elo memilih pergi".

Kara menatap koin di tangannya. "Otago".

"Suatu hari nanti, kalau elo diperhadapkan dengan dua pilihan sulit seperti hari ini, elo akan tahu bahwa hati lo tetap menginginkan salah satunya lebih besar daripada yang lain".

No comments:

Post a Comment