Tuesday, April 17, 2012

I Do


Aku memandang keluar melalui jendela mobil yang baru saja berhenti.

“Mau aku temani?” Suara rendahnya memecah lamunanku.

Aku menggeleng,”Tunggu di sini saja, biar aku turun sendiri”.

Ia tersenyum maklum, lalu membiarkanku keluar dari VW Golf miliknya. Aku menutup pintu dan mulai menyusuri jalan setapak yang membelah tanah berumput.

Sesekali aku menoleh ke belakang dan mendapati ia masih melihatku, memperhatikanku dari jauh. Seharusnya aku senang. Dengan kegagahan dan kemapanannya, ia adalah pria yang diimpikan semua wanita. Tapi, aku memang selalu menjadi anomali. Menerima kebaikannya malah membuat hatiku teriris. Kenapa? Kenapa masih menyanyangiku di saat aku tidak bisa membalasmu?

Lima menit kemudian aku sampai pada tempat tujuanku. Sebuah makam yang nampak bersih dan terawat. Aku memejamkan mata sejenak, merasakan angin sepoi yang berhembus dan membiarkan hangatnya mentari menyapa kulitku. Aku merasa damai di sini.

“Adras…” bisikku lirih, aku meletakkan buket bunga lili yang baru ku beli dalam perjalanan kemari,”Selamat ulang tahun”.

“Ini hari ke-250 yang aku habiskan tanpa dirimu, dan aku bersyukur masih bisa melewatinya dengan tegar. Itu kan yang kamu mau?” Tanpa sadar aku memutar cincin di jari manisku, hingga ketiga berliannya berada tepat di tengah. “Aku tidak tahu apa tawaranmu itu masih berlaku, kamu bahkan tidak pernah mengatakannya langsung padaku… Tapi, ini jawabanku Tuan Italia, Il mio cuore è per voi, I do, I always do. Sampai jumpa di lain kesempatan, dan pastikan kamu memintaku dengan jelas saat itu”.

Saat berbalik, aku mendapati ia sudah ada di sana. Sorot matanya sendu, ia terluka, aku tahu itu.

“Maaf,” ujarku,”Kamu tidak harus mendengarnya”.

Ia menghela napas berat,”Hidup sungguh tidak adil. Bagaimana caranya aku bisa bersaing dengan orang yang sudah tidak ada?”

“Aku mencintainya,” aku berkata tegas, mungkin kamu sudah bosan mendengarnya.

“Aku tahu, dan ia pun begitu. Kalau tidak, bagaimana mungkin cincin itu melingkar di jarimu kan?” Di luar dugaan ia malah tersenyum lembut,”Tapi, aku juga mencintaimu Ariana.”

Aku hanya menatapnya pasrah. Ia sungguh keras kepala.

“Sudah jam satu siang, dan aku yakin ia ingin kamu makan sekarang,” ia menarik tanganku lembut,”Kamu tidak keberatan kan kalau hari ini kita absen makan makanan Italia? Aku lagi pengen makan masakan Padang nih”.

Aku tersenyum lalu mengangguk,”Kamu tidak perlu menjadi dirinya”.

*



Baca juga:

1. Per Te, Ariana (by @RuriOnline)

4 comments:

  1. ini semacam cerpen ya? :) hm nice

    ReplyDelete
    Replies
    1. Flash fiction gitu, lebih pendek dari cerpen :D Makasih ya udah baca dan comment..

      Delete
  2. Wow, berseri, ini memang proyek bersama ato beneran nulis lepas? penasaran lanjutannya :)

    btw, baru tau ada yg namanya flash fiction :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yang 'Per Te, Ariana' dan 'The Proposal' itu proyek bersama, tapi yg ini iseng karena pengen bikin lanjutannya, hehe...

      Delete