Tuesday, April 10, 2012

The Proposal #Trattoria


Hari ini aku berada di sini, di sebuah sudut di Trattoria.

Bukan. Bukan untuk menikmati wajah the notorious of Soriano’s, Roberto, meski harus ku akui ia memang sangat atraktif.

Bukan juga demi seporsi lasagna ala Roberto yang terkenal itu, seperti yang sedang disantap oleh gadis bertubuh kurus di dekat jendela.

Bukan juga demi secangkir kopi, walau sekarang segelas Bicerin terhidang di hadapanku. Aku tidak kemari untuk hal-hal itu.

Satu-satunya yang membuatku berada di sini adalah kamu.

Aku menatap sebait soneta yang berada di samping konter. Sama seperti Roberto yang mengagumi Petrarca, kamu pun begitu. Bedanya, kamu tergila-gila pada segala hal yang berkenaan dengan Italia. Mulai dari kuliner, musik, arsitektur, sampai romansanya.

Aku masih ingat ocehan panjang lebarmu tentang betapa menakjubkannya Colloseum dan sejarah kerajaan roma, atau tentang ajaibnya menara Pisa yang bagiku hanya seonggok bangunan yang nyaris roboh. Kamu selalu seperti itu, menyanjung apa pun yang berkaitan dengan Italia, sampai membuatku cemburu. Sebenarnya mana yang lebih kau cintai, aku atau Italiamu itu?

Aku tersenyum miris, pertanyaan terakhir itu tidak akan pernah kuucapkan. Bukan karena aku sudah tahu jawabannya, tapi karena kamu tidak akan pernah mendengar lagi.

Tenggorokanku tercekat saat mataku menangkap perdebatan antara Roberto dan seorang perempuan di balik bar—Renata, kalau aku tidak salah dengar. Aku teringat kita. Tentang betapa kesalnya aku ketika kamu terlalu larut dalam duniamu, dalam obsesimu mempelajari seni lukis di Italia. Aku merindukan pertengkaran-pertengkaran kecil kita yang selalu berujung permintaan maaf atau kejutan manis darimu.

“Hei,” saat aku sadar, Roberto sudah berada di sebelahku. Kulihat wanita yang tadi berbicara dengannya berjalan keluar dengan langkah lebar-lebar.

“Aku turut berduka,” ia duduk di hadapanku.

“Kejadiannya terlalu tiba-tiba,” suaraku bergetar,”Kemarin aku masih tertawa dengannya, dan hari ini…” Aku tidak sanggup melanjutkan,”Aku belum siap”.

“Tidak ada yang siap, Ariana,” Roberto mengusap tanganku lembut,”Kita semua kehilangan Adras”.

“Tapi, ini…” Roberto mendorong Cassata yang sejak tadi diletakkannya di atas meja ke arahku. Aku menatapnya nanar, itu adalah kue favoritku dan Adras. “Adras memintaku membuatkannya untukmu. Ia berencana mengajakmu makan malam di sini hari ini.” Roberto tersenyum lembut,” Cicipilah, aku yakin kau pasti suka”.

Aku memotong kue itu dengan enggan. Kue itu tidak lagi terlihat menggiurkan seperti ketika aku menyantapnya dengan Adras. Namun, napasku tertahan ketika garpuku menyentuh sesuatu yang keras di dalam kue. Aku melihatnya dengan lebih saksama. Sebuah cincin.

Aku bergegas mengeluarkannya. Cincin itu sederhana, namun di bagian dalamnya terukir namaku dan Adras. Dan yang membuat air mataku tidak dapat berhenti mengalir adalah, sebaris kalimat pada secarik kertas yang diikat pada cincin tersebut: Ariana Tirtacakra, maukah kamu menikah denganku?

No comments:

Post a Comment