Hari
ini aku berada di sini, di sebuah sudut di Trattoria.
Bukan.
Bukan untuk menikmati wajah the notorious
of Soriano’s, Roberto, meski harus ku akui ia memang sangat atraktif.
Bukan
juga demi seporsi lasagna ala Roberto
yang terkenal itu, seperti yang sedang disantap oleh gadis bertubuh kurus di dekat
jendela.
Bukan
juga demi secangkir kopi, walau sekarang segelas Bicerin terhidang di hadapanku. Aku tidak kemari untuk hal-hal itu.
Satu-satunya
yang membuatku berada di sini adalah kamu.
Aku
menatap sebait soneta yang berada di samping konter. Sama seperti Roberto yang
mengagumi Petrarca, kamu pun begitu. Bedanya, kamu tergila-gila pada segala hal
yang berkenaan dengan Italia. Mulai dari kuliner, musik, arsitektur, sampai
romansanya.
Aku
masih ingat ocehan panjang lebarmu tentang betapa menakjubkannya Colloseum dan sejarah kerajaan roma,
atau tentang ajaibnya menara Pisa yang bagiku hanya seonggok bangunan yang
nyaris roboh. Kamu selalu seperti itu, menyanjung apa pun yang berkaitan dengan
Italia, sampai membuatku cemburu. Sebenarnya mana yang lebih kau cintai, aku
atau Italiamu itu?
Aku
tersenyum miris, pertanyaan terakhir itu tidak akan pernah kuucapkan. Bukan
karena aku sudah tahu jawabannya, tapi karena kamu tidak akan pernah mendengar
lagi.
Tenggorokanku
tercekat saat mataku menangkap perdebatan antara Roberto dan seorang perempuan di
balik bar—Renata, kalau aku tidak salah dengar. Aku teringat kita. Tentang betapa
kesalnya aku ketika kamu terlalu larut dalam duniamu, dalam obsesimu
mempelajari seni lukis di Italia. Aku merindukan pertengkaran-pertengkaran
kecil kita yang selalu berujung permintaan maaf atau kejutan manis darimu.
“Hei,”
saat aku sadar, Roberto sudah berada di sebelahku. Kulihat wanita yang tadi
berbicara dengannya berjalan keluar dengan langkah lebar-lebar.
“Aku
turut berduka,” ia duduk di hadapanku.
“Kejadiannya
terlalu tiba-tiba,” suaraku bergetar,”Kemarin aku masih tertawa dengannya, dan
hari ini…” Aku tidak sanggup melanjutkan,”Aku belum siap”.
“Tidak
ada yang siap, Ariana,” Roberto mengusap tanganku lembut,”Kita semua kehilangan
Adras”.
“Tapi,
ini…” Roberto mendorong Cassata yang
sejak tadi diletakkannya di atas meja ke arahku. Aku menatapnya nanar, itu adalah
kue favoritku dan Adras. “Adras memintaku membuatkannya untukmu. Ia berencana
mengajakmu makan malam di sini hari ini.” Roberto tersenyum lembut,” Cicipilah,
aku yakin kau pasti suka”.
Aku memotong
kue itu dengan enggan. Kue itu tidak lagi terlihat menggiurkan seperti ketika
aku menyantapnya dengan Adras. Namun, napasku tertahan ketika garpuku menyentuh
sesuatu yang keras di dalam kue. Aku melihatnya dengan lebih saksama. Sebuah
cincin.
Aku
bergegas mengeluarkannya. Cincin itu sederhana, namun di bagian dalamnya
terukir namaku dan Adras. Dan yang membuat air mataku tidak dapat berhenti
mengalir adalah, sebaris kalimat pada secarik kertas yang diikat pada cincin
tersebut: Ariana Tirtacakra, maukah kamu menikah denganku?
No comments:
Post a Comment