Aku
memandang keluar melalui jendela mobil yang baru saja berhenti.
“Mau
aku temani?” Suara rendahnya memecah lamunanku.
Aku
menggeleng,”Tunggu di sini saja, biar aku turun sendiri”.
Ia
tersenyum maklum, lalu membiarkanku keluar dari VW Golf miliknya. Aku menutup
pintu dan mulai menyusuri jalan setapak yang membelah tanah berumput.
Sesekali
aku menoleh ke belakang dan mendapati ia masih melihatku, memperhatikanku dari
jauh. Seharusnya aku senang. Dengan kegagahan dan kemapanannya, ia adalah pria
yang diimpikan semua wanita. Tapi, aku memang selalu menjadi anomali. Menerima
kebaikannya malah membuat hatiku teriris. Kenapa? Kenapa masih menyanyangiku di
saat aku tidak bisa membalasmu?
Lima
menit kemudian aku sampai pada tempat tujuanku. Sebuah makam yang nampak bersih
dan terawat. Aku memejamkan mata sejenak, merasakan angin sepoi yang berhembus dan
membiarkan hangatnya mentari menyapa kulitku. Aku merasa damai di sini.
“Adras…”
bisikku lirih, aku meletakkan buket bunga lili yang baru ku beli dalam perjalanan
kemari,”Selamat ulang tahun”.
“Ini
hari ke-250 yang aku habiskan tanpa dirimu, dan aku bersyukur masih bisa
melewatinya dengan tegar. Itu kan yang kamu mau?” Tanpa sadar aku memutar
cincin di jari manisku, hingga ketiga berliannya berada tepat di tengah. “Aku
tidak tahu apa tawaranmu itu masih berlaku, kamu bahkan tidak pernah
mengatakannya langsung padaku… Tapi, ini jawabanku Tuan Italia, Il mio cuore è per voi, I do, I always do. Sampai jumpa di lain
kesempatan, dan pastikan kamu memintaku dengan jelas saat itu”.
Saat
berbalik, aku mendapati ia sudah ada di sana. Sorot matanya sendu, ia terluka,
aku tahu itu.
“Maaf,”
ujarku,”Kamu tidak harus mendengarnya”.
Ia
menghela napas berat,”Hidup sungguh tidak adil. Bagaimana caranya aku bisa
bersaing dengan orang yang sudah tidak ada?”
“Aku
mencintainya,” aku berkata tegas, mungkin kamu sudah bosan mendengarnya.
“Aku
tahu, dan ia pun begitu. Kalau tidak, bagaimana mungkin cincin itu melingkar di
jarimu kan?” Di luar dugaan ia malah tersenyum lembut,”Tapi, aku juga
mencintaimu Ariana.”
Aku
hanya menatapnya pasrah. Ia sungguh keras kepala.
“Sudah
jam satu siang, dan aku yakin ia ingin kamu makan sekarang,” ia menarik
tanganku lembut,”Kamu tidak keberatan kan kalau hari ini kita absen makan
makanan Italia? Aku lagi pengen makan masakan Padang nih”.
Aku
tersenyum lalu mengangguk,”Kamu tidak perlu menjadi dirinya”.
*
Baca juga:
1. Per Te, Ariana (by @RuriOnline)
2. The Proposal
ini semacam cerpen ya? :) hm nice
ReplyDeleteFlash fiction gitu, lebih pendek dari cerpen :D Makasih ya udah baca dan comment..
DeleteWow, berseri, ini memang proyek bersama ato beneran nulis lepas? penasaran lanjutannya :)
ReplyDeletebtw, baru tau ada yg namanya flash fiction :)
Yang 'Per Te, Ariana' dan 'The Proposal' itu proyek bersama, tapi yg ini iseng karena pengen bikin lanjutannya, hehe...
Delete