Saturday, April 7, 2012

Until He Burnt His Last


Picturetakenfrom:tumblr.com

Aku menatap puing di hadapanku dengan pandangan kosong. Mataku serasa terbakar, namun tak ada lagi yang dapat mengalir dari sana. Tenggorokanku tercekat, hidungku gatal oleh sisa-sisa abu yang beterbangan.

Hitam. Hangus. Tidak ada yang tersisa dari gereja yang dulu berdiri megah itu.

Aku berjalan menuju tengah, aku yakin tempat yang kuinjak sekarang dulunya adalah ruang kebaktian utama. Aku bahkan dapat merekonstruksi bangunan ini dalam otakku, di mana letak dapur, ruang pendeta, ruang koster, ruang musik, gudang, dan tentu saja… sebuah kamar kecil di loteng tempatku tinggal.

Aku masih terus melangkah hingga kaki ku menginjak sesuatu. Aku berjongkok untuk mengambilnya. Sebuah kalung safir berwarna ungu dengan rantai emas. Tentu saja aku mengenali pemiliknya. Memikirkannya membuatku sesak. Kilasan kejadian malam itu kembali mengisi ruang memoriku.
 *


“..Na! Anna!” samar-samar aku mendengar suara Paman Wil. Gedoran itu semakin keras hingga aku terpaksa bangun untuk membukakan pintu.

“Ada apa, Paman? Kenapa tengah malam begitu ri…” Aku baru hendak memutar kenop ketika Paman menyerbu masuk lalu menarik tanganku.

“Astaga, Anna! Kenapa begitu lama?! Apa kau tidak merasa panas? Gereja ini terbakar Anna!!”

Aku masih setengah sadar ketika Paman menyeretku menuruni tangga. Setelah ia mengatakannya, aku baru merasa udara memang sangat panas dan pengap, serta piyamaku basah oleh keringat.

“Kenapa? Bagaimana bisa?” kepanikan mulai melandaku, aku dapat mendengar sesuatu jatuh berdebum dari ruang sebelah.

“Aku tidak tahu, Anna. Yang jelas kita harus mencari jalan keluar! Kita tidak mungkin melewati pintu utama, karena sudah terhalang api,” baru kali ini aku mendengar Paman Wil setegang ini, dan kenyataan itu membuatku semakin takut.

“Paman, aku tidak bisa bernapas,” aku terbatuk beberapa kali, pandanganku mulai mengabur. Semuanya tampak buram dalam nuansa oranye kemerahan, aku tidak lagi mengenali jalan yang kami lewati.

“Bersabarlah, pintu belakang adalah satu-satunya harapan kita,” Paman menggendong tubuh kecilku dan mempercepat langkahnya. Ia mendekapku dalam pelukannya sementara kami melewati kobaran api.

“Oh, tidak mungkin!” Aku ikut mendongak ketika mendengar suara Paman, kulihat jalan menuju pintu belakang benar-benar tidak dapat dilewati.

“Kita tidak bisa keluar,” aku berbisik, air mata membasahi kedua pipiku.
“Tentu saja kita akan keluar, Sayang,” Paman Wil mengusap punggungku,”Aku sudah menelepon pemadam kebakaran tadi, yang harus kita lakukan hanya bersabar”.

Paman kemudian membawaku berbelok ke ruang makan, satu-satunya tempat yang tidak rusak terlalu parah. Di sana, kami duduk di sudut ruangan. “Kita harus berada sedekat mungkin dengan tanah untuk menghindari asap,” Paman Wil menjelaskan sambil mengusap kepalaku.

“Kenapa pemadam kebakaran begitu lama?” aku bertanya.

“Mereka pasti sedang dalam perjalanan”.

“Aku takut”.

“Aku di sini, Anna”.

“Bagaimana kalau kita tidak selamat?”

“Kita pasti selamat”.

Tepat pada saat itu langit-langit di atas kami roboh. Aku memejamkan mata, bersiap menghadapi rasa sakit yang akan menghantam. Namun, aku tidak merasakan apa pun.

Perlahan, aku membuka mata lalu mendongak. Paman Wil melindungiku dengan tubuhnya. “Kau tidak apa-apa, Sayang?” tanyanya.

Aku menggeleng, tapi dapat kulihat tubuh dan kepalanya berdarah dan ia merintih menahan sakit. Lalu, saat aku melihat sekeliling, kami sudah terperangkap dalam api dan tidak dapat bergerak lagi.

“Anna,” Paman Wil memanggilku, sorot matanya terlihat lembut. Persis seperti saat ia pertama kali menampungku di gereja ini,”Kalau aku tidak ada…”

“Aku juga ingin mati,” aku menyelanya.

“Tidak, Anna. Jangan katakan itu!”

“Tapi, aku tidak akan punya siapa-siapa lagi!” Aku balas memeluknya dan mulai terisak,”Aku berbeda dari anak-anak lain, aku selalu dibuang, mereka bilang aku pembawa sial, mereka bilang aku kena tulah!”

“Ssshhhht,” Paman Wil mengecup puncak kepalaku,”Tulah apa yang menimpa malaikat secantik ini?”

“Paman… Jangan pergi… Bertahanlah sebentar lagi…” Aku memohon, sayup-sayup aku dapat mendengar sirene dari luar.

“Dengar Anna,” ia bersikeras,”Apa pun yang terjadi. Kamu harus kuat, bisa kan?”

Ingin rasanya aku menggeleng.

“Aku menyayangimu Anna. Selalu,” Aku tidak dapat mengingat lagi apa yang terjadi setelah itu, namun aku ingat pelukan Paman Wil mengendur dan benda terakhir yang kulihat adalah bandul safir ungu yang tergantung di dadanya.



Mereka mengusirku dari pemakaman Paman Wil, mereka bilang akulah penyebab kebakaran itu. Mereka bilang aku adalah kutukan.

Aku menggenggam kalung ungu tersebut kuat-kuat,“Jadi, Paman, katakan padaku bagaimana caranya agar aku tetap kuat?”

2 comments:

  1. Waa~ kenapa ceritamu selalu berakhir menggantung >.< penasaran hahaha~

    Btw, great job :) suka feeling dari cerita ini :D Gbu~

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thanks ya udah sering mampir dan comment :D Biar ceritanya bisa diselesaiin sendiri sama yang baca mungkin?? Haha... Gbu too :)

      Delete