Thursday, January 9, 2014

do you?


Kamu percaya pada pertanda?

Aku mengetuk-ngetukkan penaku ke meja, menghitung jumlah tetesan air yang sudah jatuh dari segelas ice lemon tea yang sudah mengembun sejak tadi. “Di mana sih dia?” Gumamku sambil menggoyang-goyangkan kaki keluar tempo. Suara musik yang di putar Kaftee&Bun sore ini sedikit terlalu keras, membuat emosiku semakin terusik. Aku melirik jam tanganku sekilas.

“Sabarlah, Va,” Arlene yang sejak tadi sibuk dengan diktat fisikanya melempar tatapan tajam ke arahku. Aku spontan menghentikan ketukanku di atas meja.

“Tapi ini udah satu jam, Lene,” Aku berusaha melanjutkan kegiatanku mengerjakan latihan tryout.

“Ekskur basketnya ngaret kali,” jawab Arlene tak peduli.

“Tapi firasat gue nggak enak,” debatku lagi.

“Jangan berlebihan, ah,” Arlene sama sekali tidak mengangkat kepalanya. “Nanti juga nongol tuh anak”.

“Tapi dia nggak bisa ditelpon, Lene.”

“Batrenya habis kali”.

Aku menghela napas berat. Entah kenapa rasanya kali ini berbeda. Niki terlambat dan aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. “Gimana kalau dia kenapa-napa?”

“Kenapa-napa gimana?”

Aku mengangkat bahu. “Kayak dia bakal pergi jauh dari gue”.

Arlene akhirnya mendongak. “Elo takut?”

“Ya iya lah,” nadaku naik seoktaf. Pertanyaan macam apa ini?

Arlene tertawa kecil. “Setelah sekian lama dia bertahan sama lo tanpa kejelasan, gue rasa nggak heran kalau akhirnya Niki pergi, Va”.

“Bukan itu maksud gueeee,” jawabku kesal. “Elo masih sempet aja ya ngebahas hati. Lagian, gue sama Niki itu sahabat. Berapa juta kali sih harus gue bilangin?”

“Berapa juta kali juga harus gue bilangin kalau Niki suka elo?” balas Arlene, kali ini ia meletakkan pensilnya di atas meja. Perhatiannya jatuh sepenuhnya padaku.

“Itu kan asumsi lo aja,” aku mengalihkan pandangan.

“Tampang Niki tuh oke, anak basket, otaknya encer. Menurut lo apa yang membuat dia nggak punya pacar sampai hari ini?” Arlene menaikkan alisnya.

“Mana gue tahu?” Aku menyeruput minumanku.

“Katanya lo sahabatan? Kenapa nggak tahu?”

“Gue udah nyuruh Niki cari pacar kok”.

“Terus apa jawabannya?”

“’Iya’,” aku teringat jawaban yang dilontarkan Niki beberapa bulan lalu.

“’Iya’, tapi sampai sekarang belum pacaran? Orang kayak Niki nggak mungkin nggak ada yang suka. Alasan dia betah lama-lama nggak pacaran itu elo tau, Va.” Arlene mencondongkan tubuhnya. “He likes you. You like him. Nunggu apa lagi sih?”

Aku menggeleng. “Entah, Lene. Gue nggak tahu. Niki nggak kayak cowok-cowok yang selama ini gue suka. Gue nyaman di dekat dia, gue bisa jadi diri sendiri sama dia, tapi gue nggak pernah merasa deg-degan di dekat Niki.”

“Siapa bilang suka harus deg-degan?” debat Arlene. “Coba bayangin bakal gimana perasaan lo kalau seandainya Niki deketin cewek lain?”

Aku membiarkan tatapanku melayang jauh. Selama ini aku tidak pernah memikirkan akan bagaimana perasaanku. Cemburukah? Senang? Ke—

Pintu Kaftee&Bun terbuka. Niki melangkah masuk dengan gaya santainya yang khas. Seragamnya telah berganti kaos, dan ia menyandang ransel dengan sebelah bahunya.

“Sori ya lama,” Niki menghampiri kami, lalu mengambil tempat di sebelahku. “Eh kenalin, ini Tris, adik kelas kita.” Seorang gadis berkuncir satu berdiri di sebelah Niki. Wajahnya mungil, bola matanya yang hitam terlihat berbinar. Garis mukanya yang lembut dan senyum di bibirnya yang penuh membuatnya terlihat seperti peri. “Boleh ya dia gabung bentar?”

Aku melirik Arlene yang balas menatapku sambil menaikkan kedua alisnya.

Kamu percaya pada pertanda?

No comments:

Post a Comment