Kamu
percaya pada pertanda?
Aku
mengetuk-ngetukkan penaku ke meja, menghitung jumlah tetesan air yang sudah
jatuh dari segelas ice lemon tea yang
sudah mengembun sejak tadi. “Di mana sih dia?” Gumamku sambil
menggoyang-goyangkan kaki keluar tempo. Suara musik yang di putar
Kaftee&Bun sore ini sedikit terlalu keras, membuat emosiku semakin terusik.
Aku melirik jam tanganku sekilas.
“Sabarlah,
Va,” Arlene yang sejak tadi sibuk dengan diktat fisikanya melempar tatapan
tajam ke arahku. Aku spontan menghentikan ketukanku di atas meja.
“Tapi
ini udah satu jam, Lene,” Aku berusaha melanjutkan kegiatanku mengerjakan
latihan tryout.
“Ekskur
basketnya ngaret kali,” jawab Arlene tak peduli.
“Tapi
firasat gue nggak enak,” debatku lagi.
“Jangan
berlebihan, ah,” Arlene sama sekali tidak mengangkat kepalanya. “Nanti juga
nongol tuh anak”.
“Tapi
dia nggak bisa ditelpon, Lene.”
“Batrenya
habis kali”.
Aku
menghela napas berat. Entah kenapa rasanya kali ini berbeda. Niki terlambat dan
aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. “Gimana kalau dia kenapa-napa?”
“Kenapa-napa
gimana?”
Aku
mengangkat bahu. “Kayak dia bakal pergi jauh dari gue”.
Arlene
akhirnya mendongak. “Elo takut?”
“Ya
iya lah,” nadaku naik seoktaf. Pertanyaan macam apa ini?
Arlene
tertawa kecil. “Setelah sekian lama dia bertahan sama lo tanpa kejelasan, gue
rasa nggak heran kalau akhirnya Niki pergi, Va”.
“Bukan
itu maksud gueeee,” jawabku kesal. “Elo masih sempet aja ya ngebahas hati.
Lagian, gue sama Niki itu sahabat. Berapa juta kali sih harus gue bilangin?”
“Berapa
juta kali juga harus gue bilangin kalau Niki suka elo?” balas Arlene, kali ini
ia meletakkan pensilnya di atas meja. Perhatiannya jatuh sepenuhnya padaku.
“Itu
kan asumsi lo aja,” aku mengalihkan pandangan.
“Tampang
Niki tuh oke, anak basket, otaknya encer. Menurut lo apa yang membuat dia nggak
punya pacar sampai hari ini?” Arlene menaikkan alisnya.
“Mana
gue tahu?” Aku menyeruput minumanku.
“Katanya
lo sahabatan? Kenapa nggak tahu?”
“Gue
udah nyuruh Niki cari pacar kok”.
“Terus
apa jawabannya?”
“’Iya’,”
aku teringat jawaban yang dilontarkan Niki beberapa bulan lalu.
“’Iya’,
tapi sampai sekarang belum pacaran? Orang kayak Niki nggak mungkin nggak ada
yang suka. Alasan dia betah lama-lama nggak pacaran itu elo tau, Va.” Arlene
mencondongkan tubuhnya. “He likes you.
You like him. Nunggu apa lagi sih?”
Aku
menggeleng. “Entah, Lene. Gue nggak tahu. Niki nggak kayak cowok-cowok yang
selama ini gue suka. Gue nyaman di dekat dia, gue bisa jadi diri sendiri sama
dia, tapi gue nggak pernah merasa deg-degan di dekat Niki.”
“Siapa
bilang suka harus deg-degan?” debat Arlene. “Coba bayangin bakal gimana
perasaan lo kalau seandainya Niki deketin cewek lain?”
Aku
membiarkan tatapanku melayang jauh. Selama ini aku tidak pernah memikirkan akan
bagaimana perasaanku. Cemburukah? Senang? Ke—
Pintu
Kaftee&Bun terbuka. Niki melangkah masuk dengan gaya santainya yang khas. Seragamnya
telah berganti kaos, dan ia menyandang ransel dengan sebelah bahunya.
“Sori
ya lama,” Niki menghampiri kami, lalu mengambil tempat di sebelahku. “Eh
kenalin, ini Tris, adik kelas kita.” Seorang gadis berkuncir satu berdiri di
sebelah Niki. Wajahnya mungil, bola matanya yang hitam terlihat berbinar. Garis mukanya yang lembut dan senyum di bibirnya yang penuh membuatnya terlihat seperti peri. “Boleh ya dia gabung bentar?”
Aku
melirik Arlene yang balas menatapku sambil menaikkan kedua alisnya.
Kamu
percaya pada pertanda?
No comments:
Post a Comment