Hari
ini, tepat setelah saya membayar karcis tol, jalan menuju kampus saya ditutup. Tidak
sampai lima menit kemudian, antrian sudah mengular di mulut tol, mobil-mobil
membunyikan klakson mereka hingga petugas tol memberi pengumuman bahwa jalan
ditutup karena akan ada rombongan yang lewat.
Rombongan
sepenting apa sih yang mau lewat sampai jalan harus ditutup segala? Begitu
pikir saya. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima, sementara kelas
dimulai pukul tujuh tepat, dan kebetulan dosen yang mengajar hari ini sama
sekali tidak mentolerir keterlambatan.
Tidak
sampai beberapa lama kemudian petugas kembali mengumumkan bahwa yang akan lewat
adalah RI 1. Lalu kenapa kalau presiden mau lewat? Pikir saya spontan. Kesal.
Toh hari masih pagi, jalan tol masih lengang, saya rasa iring-iringan mobil
polisi sudah cukup tanpa harus menutup jalan. Memangnya cuma bapak presiden
saja yang punya kepentingan? Mau apa sih si bapak pagi-pagi begini? Saya kan
juga punya kepentingan, mau kuliah. Semua orang yang mengantre di belakang
saya, saya yakin juga punya kepentingan yang nggak kalah mendesak, mau kerja,
mau mengejar pesawat di bandara, dan masih banyak lagi. Semua orang punya
kepentingan dan nggak jarang kepentingan kita bertabrakan dengan orang lain.
Saat
saya menunggu saya jadi berpikir. Kenapa sih nggak ada peringatan di pintu
masuk tol, bahwa jalan akan ditutup? Kalau tahu kan, tentu saya akan mencari
jalan lain. Kenapa juga si polisi itu harus menutup jalan tepat sebelum saya
lewat. Dan seterusnya. Tapi, tiba-tiba sebuah pertanyaan melintas di otak saya.
Kenapa nyalahin orang lain terus? Kenapa nggak kamu sendiri yang bangun lebih
pagi? Kenapa selalu berangkat mepet ke kampus?
Pagi
tadi saya bersyukur banget, dosennya saya juga datang agak telat sehingga saya
masih bisa masuk kelas. Dan saya juga bersyukur, hari ini, saya diingatkan
untuk nggak menyalahkan orang lain lebih dulu, untuk melihat dan menilai kita
lebih dulu sebelum kita menyalahkan orang lain.
No comments:
Post a Comment