|
Picturetakenfrom:tumblr.com |
Aku
menatap puing di hadapanku dengan pandangan kosong. Mataku serasa terbakar,
namun tak ada lagi yang dapat mengalir dari sana. Tenggorokanku
tercekat, hidungku gatal oleh sisa-sisa abu yang beterbangan.
Hitam. Hangus.
Tidak ada yang tersisa dari gereja yang dulu berdiri megah itu.
Aku
berjalan menuju tengah, aku yakin tempat yang kuinjak sekarang dulunya adalah
ruang kebaktian utama. Aku bahkan dapat merekonstruksi bangunan ini dalam
otakku, di mana letak dapur, ruang pendeta, ruang koster, ruang musik, gudang,
dan tentu saja… sebuah kamar kecil di loteng tempatku tinggal.
Aku
masih terus melangkah hingga kaki ku menginjak sesuatu. Aku berjongkok untuk
mengambilnya. Sebuah kalung safir berwarna ungu dengan rantai emas. Tentu saja
aku mengenali pemiliknya. Memikirkannya membuatku sesak. Kilasan kejadian malam
itu kembali mengisi ruang memoriku.
*
“..Na!
Anna!” samar-samar aku mendengar suara Paman Wil. Gedoran itu semakin keras
hingga aku terpaksa bangun untuk membukakan pintu.
“Ada
apa, Paman? Kenapa tengah malam begitu ri…” Aku baru hendak memutar kenop
ketika Paman menyerbu masuk lalu menarik tanganku.
“Astaga,
Anna! Kenapa begitu lama?! Apa kau tidak merasa panas? Gereja ini terbakar
Anna!!”
Aku
masih setengah sadar ketika Paman menyeretku menuruni tangga. Setelah ia
mengatakannya, aku baru merasa udara memang sangat panas dan pengap, serta
piyamaku basah oleh keringat.
“Kenapa?
Bagaimana bisa?” kepanikan mulai melandaku, aku dapat mendengar sesuatu jatuh
berdebum dari ruang sebelah.
“Aku
tidak tahu, Anna. Yang jelas kita harus mencari jalan keluar! Kita tidak
mungkin melewati pintu utama, karena sudah terhalang api,” baru kali ini aku
mendengar Paman Wil setegang ini, dan kenyataan itu membuatku semakin takut.
“Paman,
aku tidak bisa bernapas,” aku terbatuk beberapa kali, pandanganku mulai
mengabur. Semuanya tampak buram dalam nuansa oranye kemerahan, aku tidak lagi
mengenali jalan yang kami lewati.
“Bersabarlah,
pintu belakang adalah satu-satunya harapan kita,” Paman menggendong tubuh kecilku
dan mempercepat langkahnya. Ia mendekapku dalam pelukannya sementara kami
melewati kobaran api.
“Oh,
tidak mungkin!” Aku ikut mendongak ketika mendengar suara Paman, kulihat jalan
menuju pintu belakang benar-benar tidak dapat dilewati.
“Kita
tidak bisa keluar,” aku berbisik, air mata membasahi kedua pipiku.
“Tentu
saja kita akan keluar, Sayang,” Paman Wil mengusap punggungku,”Aku sudah
menelepon pemadam kebakaran tadi, yang harus kita lakukan hanya bersabar”.
Paman
kemudian membawaku berbelok ke ruang makan, satu-satunya tempat yang tidak
rusak terlalu parah. Di sana, kami duduk di sudut ruangan. “Kita harus berada
sedekat mungkin dengan tanah untuk menghindari asap,” Paman Wil menjelaskan
sambil mengusap kepalaku.
“Kenapa
pemadam kebakaran begitu lama?” aku bertanya.
“Mereka
pasti sedang dalam perjalanan”.
“Aku
takut”.
“Aku
di sini, Anna”.
“Bagaimana
kalau kita tidak selamat?”
“Kita
pasti selamat”.
Tepat
pada saat itu langit-langit di atas kami roboh. Aku memejamkan mata, bersiap
menghadapi rasa sakit yang akan menghantam. Namun, aku tidak merasakan apa pun.
Perlahan,
aku membuka mata lalu mendongak. Paman Wil melindungiku dengan tubuhnya. “Kau
tidak apa-apa, Sayang?” tanyanya.
Aku
menggeleng, tapi dapat kulihat tubuh dan kepalanya berdarah dan ia merintih
menahan sakit. Lalu, saat aku melihat sekeliling, kami sudah terperangkap dalam
api dan tidak dapat bergerak lagi.
“Anna,”
Paman Wil memanggilku, sorot matanya terlihat lembut. Persis seperti saat ia
pertama kali menampungku di gereja ini,”Kalau aku tidak ada…”
“Aku
juga ingin mati,” aku menyelanya.
“Tidak,
Anna. Jangan katakan itu!”
“Tapi,
aku tidak akan punya siapa-siapa lagi!” Aku balas memeluknya dan mulai terisak,”Aku
berbeda dari anak-anak lain, aku selalu dibuang, mereka bilang aku pembawa
sial, mereka bilang aku kena tulah!”
“Ssshhhht,”
Paman Wil mengecup puncak kepalaku,”Tulah apa yang menimpa malaikat secantik
ini?”
“Paman…
Jangan pergi… Bertahanlah sebentar lagi…” Aku memohon, sayup-sayup aku dapat
mendengar sirene dari luar.
“Dengar
Anna,” ia bersikeras,”Apa pun yang terjadi. Kamu harus kuat, bisa kan?”
Ingin
rasanya aku menggeleng.
“Aku
menyayangimu Anna. Selalu,” Aku tidak dapat mengingat lagi apa yang terjadi
setelah itu, namun aku ingat pelukan Paman Wil mengendur dan benda terakhir
yang kulihat adalah bandul safir ungu yang tergantung di dadanya.
*
Mereka
mengusirku dari pemakaman Paman Wil, mereka bilang akulah penyebab kebakaran
itu. Mereka bilang aku adalah kutukan.
Aku
menggenggam kalung ungu tersebut kuat-kuat,“Jadi, Paman, katakan padaku bagaimana caranya agar aku tetap
kuat?”