Sunday, May 10, 2015

the reason why

“Kayaknya gue udahan deh,” Windy menghela napas berat sambil menyandarkan punggungnya pada kursi kantin kampus.

“Apanya?” Rei yang sejak tadi menekuni makanannya mendongak saat sahabatnya datang dengan wajah kusut.

“Gue sama Kevin, kayaknya kami udahan deh”.

Really?” Rei mengangkat kedua alisnya. “After these eight years?

After these eight years.” Ulang Windy,”What’s so glorious about eight years? Orang-orang bilang gila gue pacaran awet banget. But sometimes things don’t just work out and we have nothing to do about it”.

“Elo nggak mau coba memperjuangkan lagi, Win?”

“Elo pikir gue nggak mikir sejuta kali sebelum bilang kayak gini? Delapan tahun, Rei. Delapan. Elo pikir apa yang gue sama Kevin udah coba lakuin untuk hubungan kami?”

Rei terdiam, tidak tahu harus berkata apa.

“Cinta itu bukan hitung-hitungan di atas kertas, Rei”.

Tepat saat itu, ponsel Rei berbunyi, dan laki-laki itu tersenyum tipis saat melihat pesan yang masuk ke dalam ponselnya. “Gue tahu,” Rei menjawab sekenanya.

Oh tentu saja, Rei adalah salah satu orang yang paling tahu hal itu. “Mia?” Tebak Windy. Karena kalau cinta adalah hitung-hitungan di atas kertas, Rei tidak akan bersama Mia saat ini.

Rei mengangguk. Ia memperlihatkan foto makanan yang baru saja dikirim Mia kepada Windy.

“Masuk rumah sakit lagi?” Windy melihat sticker yang tertera di bawahnya. Mia tentu saja tidak suka makanan rumah sakit.

“Udah dari tiga hari lalu,” jawab Rei. “Habis ini gue mau ke sana. Mau ikut?”

“Boleh, udah lama gue nggak ketemu Mia,” Windy mengangguk. “Tell me, Rei. Apa yang membuat lo nggak pernah ninggalin Mia?”

“Elo tahu gue sempat berpikir untuk nyerah berkali-kali,” Rei memutar bola matanya.

“Tapi lo nggak pernah benar-benar ninggalin dia”. Windy menatap Rei. “Apa yang membuat lo bertahan? Mia bukan orang yang bisa lo ajak jalan-jalan kemana pun lo mau, dia bukan orang yang bisa nonton pertandingan futsal lo dan nyorakin lo dari pinggir lapangan. Mia bukan orang yang bisa lo ajak naik gunung sesuai dengan hobi lo, dia bahkan nggak bisa lo ajak berdesak-desakan di tempat umum.”

Rei mengaduk es jeruknya dengan tatapan menerawang. Seulas senyum tipis menghiasi bibirnya. “Berada di samping Mia nggak pernah mudah, Win. Melihat Mia berjuang melawan lupusnya selalu semakin sulit setiap hari. Dan seperti yang elo bilang, lupus membuat Mia nggak bisa melakukan banyak hal. Kami nggak pernah kencan di luar ruangan siang-siang karena Mia nggak bisa kena panas matahari, gue nggak bisa ajak dia nonton konser yang mau gue tonton, dan masih banyak lagi. Iya, kadang gue iri dengan pasangan lain, kegiatan kami begitu terbatas. Iya, kadang gue kesal Mia nggak bisa diajak capek dikit. Dan iya, sering banget gue mikir bahwa mungkin lebih baik gue sama Mia udahan aja. Toh, Mia juga minta putus saat pertama kali dia tahu dia kena lupus. Kami baru pacaran, dan kehidupan setelah pacaran pasti akan lebih sulit. Mia bilang kami mungkin nggak akan punya anak, dan gue dia juga nanya apa gue siap nemenin dia yang sakit-sakitan seumur hidup.”

Windy menunggu Rei melanjutkan.

“Tapi di saat gue pengen banget nyerah, kehidupan tanpa Mia lebih menakutkan buat gue. Karena rasa es krim yang gue makan nggak akan semanis dulu lagi, dan musik yang gue dengar nggak akan seindah saat gue mendengarnya dengan Mia. Lagi pula, gue bisa ngebayangin Mia akan melakukan hal yang sama kalau keadaannya terbalik. Ingat saat SMA dulu, waktu tangan kanan gue patah? Mia tiap hari datang ke kelas gue untuk nyalinin catatan gue selama tiga bulan penuh.”

“Walau kadang ngomel dan minta traktiran,” Celetuk Windy sambil tersenyum nostalgis. Ia tahu sahabatnya memilih orang yang tepat, walau sebagian orang tidak melihatnya demikian. “Menurut lo kalian akan menikah?”


Rei mengangkat bahu. “Perjalanan gue dan Mia masih panjang. Gue tahu dia bisa hidup seperti orang normal selama ia berobat dengan baik. She’s Mia after all. Tapi hubungan kami juga nggak akan mudah, dan gue nggak tahu apa yang akan kami hadapi nantinya. Seperti yang lo bilang, cinta bukan hitung-hitungan di atas kertas. Tapi untuk sekarang, gue hanya ingin di sampingnya—di saat ia paling membutuhkan gue dalam hidupnya. Gue ingin berjuang bersama Mia. Gue rasa itu cukup”.


What are words
If you really don't mean them
When you say them

What are words
If they're only for good times
Then they're done

Every single promise I'll keep
Cause what kind of guy would I be
If I was to leave when you need me most

I'm forever keeping my angel close

-What Are Words

picturetakenfrom:pinterest.com

No comments:

Post a Comment