Tirsa
menatap seragam putih abu-abu yang tergantung di pintu lemari kamarnya. Ia
menyentuhnya dengan ujung-ujung jari, merasakan lembut dan dinginnya kain
menyentuh kulitnya. Ia akan merindukan saat-saat itu, hari-hari dimana ia harus
berlomba dengan jarum pendek yang bergerak menuju ke angka tujuh setiap pagi,
hari-hari dimana ia harus berkutat dengan deretan angka dan rumus yang bahkan
ia tidak tahu gunanya, hari-hari dimana hal yang dikhawatirkannya hanyalah
tugas dan ulangan untuk keesokan harinya.
Tirsa
tersenyum tipis. Semua itu kini usai.
Ia
tidak akan menunggu-nunggu bel yang akan berbunyi setiap 45 menit lagi. Ia
tidak perlu lagi buru-buru memasukkan kemeja putihnya yang keluar saat akan
berhadapan dengan guru piket. Tidak akan ada lagi ujian matematika yang sanggup
membuat siapa pun sakit perut. Tidak akan ada lagi dongeng dari guru sejarahnya
yang sanggup membuatnya tertidur di Senin pagi.
Ia
akan merindukan hari-hari itu. Rutinitas yang ia pikir selalu ia benci, namun
tanpa sadar telah membuatnya jatuh cinta. Teman-teman dan sahabat yang
bertumbuh bersamanya, orang-orang yang selama tiga tahun berbagi tawa dan air
mata bersamanya.
Ia
akan merindukan Vanya, sahabat yang mengetahui segala ceritanya—bahkan hingga
yang tergelap sekali pun. Ia akan merindukan Gory, orang yang selalu dapat ia
ajak ‘gila’ bersama, mulai dari mengerjai teman hingga guru-guru paling killer di sekolah mereka. Ia akan
merindukan Veska dan Tanya, dua perempuan yang selalu menjadi sumber gosipnya,
teman yang selalu dapat ia datangi jika ia butuh bantuan saat pergi ke pesta.
Ia akan merindukan Glen yang selalu menghabiskan makanannya di kantin, atau
bahkan Viory, saingannya dalam memperebutkan peringkat satu. Dan tentu saja, ia
tidak akan melupakan Toby, orang yang membuat lembaran pertamanya di SMA
menjadi semanis gula kapas.
Tirsa
tidak akan pernah melupakan momen-momennya dengan Toby. Debaran pertamanya saat
cowok itu untuk pertama kali mengirimkan pesan singkat kepadanya. Wajahnya yang
terasa panas saat mereka asik berbincang di tengah pelajaran fisika dan ditegur
oleh guru. Perasaan senangnya saat
mereka berdua dihukum membersihkan lapangan bersama sebelum sekolah dimulai.
Dan tentu saja, rasa sakit hatinya saat ia mengetahui bahwa Toby menyukai
Viory.
“Tirsa!”
Sebuah ketukan di pintu membuat Tirsa menoleh. Ia menatap pantulan dirinya di
cermin. Gadis yang tiga tahun lalu baru memakai seragam putih abu-abu kini
memakai terusan krem selutut yang tampak manis.
“Iya,
Van!” Tirsa menyunggingkan seulas senyum sebelum berbalik. Ini adalah malam
terakhirnya bersama teman-teman SMAnya, malam terakhir sebelum mereka berpisah
mengambil jalan masing-masing. Ia sedih, namun ia bahagia pernah mengenal
mereka satu per satu. Dan ia akan bersulang untuk itu malam ini. Untuk segala
rasa manis dan pahit yang pernah mampir di hatinya. Untuk segala debaran dan
sakit hati yang pernah ia terima. Ia bersyukur untuk segalanya.
picturetakenfrom:pinterest.com |
No comments:
Post a Comment