Monday, May 11, 2015

those days

Tirsa menatap seragam putih abu-abu yang tergantung di pintu lemari kamarnya. Ia menyentuhnya dengan ujung-ujung jari, merasakan lembut dan dinginnya kain menyentuh kulitnya. Ia akan merindukan saat-saat itu, hari-hari dimana ia harus berlomba dengan jarum pendek yang bergerak menuju ke angka tujuh setiap pagi, hari-hari dimana ia harus berkutat dengan deretan angka dan rumus yang bahkan ia tidak tahu gunanya, hari-hari dimana hal yang dikhawatirkannya hanyalah tugas dan ulangan untuk keesokan harinya.

Tirsa tersenyum tipis. Semua itu kini usai.

Ia tidak akan menunggu-nunggu bel yang akan berbunyi setiap 45 menit lagi. Ia tidak perlu lagi buru-buru memasukkan kemeja putihnya yang keluar saat akan berhadapan dengan guru piket. Tidak akan ada lagi ujian matematika yang sanggup membuat siapa pun sakit perut. Tidak akan ada lagi dongeng dari guru sejarahnya yang sanggup membuatnya tertidur di Senin pagi.

Ia akan merindukan hari-hari itu. Rutinitas yang ia pikir selalu ia benci, namun tanpa sadar telah membuatnya jatuh cinta. Teman-teman dan sahabat yang bertumbuh bersamanya, orang-orang yang selama tiga tahun berbagi tawa dan air mata bersamanya.

Ia akan merindukan Vanya, sahabat yang mengetahui segala ceritanya—bahkan hingga yang tergelap sekali pun. Ia akan merindukan Gory, orang yang selalu dapat ia ajak ‘gila’ bersama, mulai dari mengerjai teman hingga guru-guru paling killer di sekolah mereka. Ia akan merindukan Veska dan Tanya, dua perempuan yang selalu menjadi sumber gosipnya, teman yang selalu dapat ia datangi jika ia butuh bantuan saat pergi ke pesta. Ia akan merindukan Glen yang selalu menghabiskan makanannya di kantin, atau bahkan Viory, saingannya dalam memperebutkan peringkat satu. Dan tentu saja, ia tidak akan melupakan Toby, orang yang membuat lembaran pertamanya di SMA menjadi semanis gula kapas.

Tirsa tidak akan pernah melupakan momen-momennya dengan Toby. Debaran pertamanya saat cowok itu untuk pertama kali mengirimkan pesan singkat kepadanya. Wajahnya yang terasa panas saat mereka asik berbincang di tengah pelajaran fisika dan ditegur oleh guru. Perasaan  senangnya saat mereka berdua dihukum membersihkan lapangan bersama sebelum sekolah dimulai. Dan tentu saja, rasa sakit hatinya saat ia mengetahui bahwa Toby menyukai Viory.

“Tirsa!” Sebuah ketukan di pintu membuat Tirsa menoleh. Ia menatap pantulan dirinya di cermin. Gadis yang tiga tahun lalu baru memakai seragam putih abu-abu kini memakai terusan krem selutut yang tampak manis.


“Iya, Van!” Tirsa menyunggingkan seulas senyum sebelum berbalik. Ini adalah malam terakhirnya bersama teman-teman SMAnya, malam terakhir sebelum mereka berpisah mengambil jalan masing-masing. Ia sedih, namun ia bahagia pernah mengenal mereka satu per satu. Dan ia akan bersulang untuk itu malam ini. Untuk segala rasa manis dan pahit yang pernah mampir di hatinya. Untuk segala debaran dan sakit hati yang pernah ia terima. Ia bersyukur untuk segalanya.

picturetakenfrom:pinterest.com

No comments:

Post a Comment