Saturday, April 11, 2015

back home

“Rumah kamu nggak banyak berubah ya,” Ata melihat sekelilingnya, rumah milik Vico yang mulai samar dalam ingatannya. “Dulu waktu SD kita sering main petak umpet di sini bareng teman-teman sekolah ya, soalnya rumah kamu paling besar sih”.

“Ingat nggak waktu dulu kita ngumpet di kamar aku?” Vico menunjuk pintu kamarnya.

“Ingat dong,” Ata tergelak. “Kalau nggak ada lo waktu itu aku pasti udah kena duluan”.

“Kamu payah sih,” Vico mengacak rambut Ata ringan, membuat jantung gadis itu berdebar lebih cepat—seperti dulu.

Semua bermula pada saat itu. Saat dimana kamu membagi tempat bersembunyimu denganku yang tidak tahu harus bersembunyi di mana sedang hitungan mundur hampir mencapai nol. Saat dimana aku duduk bersisian denganmu di dalam sebuah lemari baju yang sempit. Diantara helaian-helaian kain yang berjajar itu, untuk pertama kalinya aku menghirup aroma tubuhmu—bau sabun yang bercampur keringat, aroma yang entah mengapa tidak pernah aku lupakan hingga sekarang.

“Tapi nggak nyangka ya,” Vico mengganti-ganti saluran televisi di ruang keluarganya tanpa berkonsentrasi penuh. “Lihat bagaimana kita berakhir sekarang”.

Ata mengangguk. “Dulu kita cuma teman SD ya, aku bahkan nggak dekat sama sekali sama kamu”.

“Kayaknya bisa dihitung jari deh berapa kali kita ngobrol dulu”. Vico menyetujui.

“Terus kamu pindah waktu kelas tiga SD,” Ata melanjutkan. “SMP dan SMA kita beda walau kita masih satu kompleks”.

“Waktu SMP aku sering lihat kamu lewat depan rumah aku kalau mau berangkat sekolah,” Vico tersenyum nostalgis. “Aku kadang mikir mau nyapa kamu, but that’s it. Kamu cuma teman SD, aku bahkan ragu kamu masih ingat aku apa nggak”.

“Aku juga sering lihat kamu pulang sekolah waktu SMA,” balas Ata.

Kamu dengan seragam acak-acakan dan bola basket di tangan. Kamu dengan gitar yang tersandang pada bahumu di lain hari. Kamu dengan tawa lebarmu yang membuatku berharap dapat memutar balik waktu dan mengenalmu lebih jauh.

“Oh, aku lihat kamu waktu kamu mau ke prom,” Vico menambahkan. “Waktu itu aku baru pulang latihan band dan kebetulan lewatin rumah kamu”.

“Tahu dari mana aku mau ke prom?” ledek Ata.

“Waktu itu lagi zaman-zamannya prom sih,” Vico beralasan. “Kamu tahu, I wished I could be your partner that night. Aneh memang, mengingat kita belum terlalu kenal waktu itu.”

Ata mengangguk. “Dulu aku selalu mikir, mungkin suatu hari nanti aku akan ketemu seseorang, entah siapa, yang jadi pasangan aku. Aku nggak pernah nyangka orang itu kamu. The boy from my childhood. The boy whose house just around the corner.

“Kecewa?” Vico menaikan kedua alisnya sambil tersenyum lebar.


Ata menggeleng. “Seneng banget. Karena sama kamu aku bisa jadi diriku sendiri. Because you’re that person whom I can be silly with and act like I am eight.”

picturetakenfrom:pinterest.com

No comments:

Post a Comment