Dalam dunia medis, ada istilah resistensi
antibiotik—resistensi yang terjadi pada bakteri terhadap suatu antibiotik.
Dalam dunia teknik atau fisika, ada juga istilah resistensi listrik.
Saya rasa, manusia pun punya resistensi.
Banyak menghabiskan waktu di rumah sakit kadang membuat saya
berpikir, saya jadi kebal terhadap penderitaan banyak orang. Kebal terhadap
kesedihan mereka, kebal terhadap kekhawatiran mereka, kebal terhadap segala
emosi yang terjadi dalam diri orang lain.
Tapi, diantara semua resistensi itu, saya rasa yang paling
menakutkan adalah resisten terhadap kebahagiaan.
Bisa bayangkan ketika kita kebal terhadap hal-hal yang
seharusnya membuat kita bahagia?
Sedih. Kecewa. Marah. Tentu saat kita menjadi resisten
terhadap rasa bahagia, kita akan kehabisan alasan untuk bersyukur. Hidup akan
terasa sangat melelahkan. Hari-hari akan terasa sama kalau tidak semakin
kelabu.
Ingat ketika dulu kita pernah berbahagia karena setangkai
lollipop? Atau melonjak kegirangan saat mendengar tukang es krim lewat di depan
rumah? Bukankah kita berhenti bahagia karena hal-hal tersebut? Bukankah permen,
es krim, gulali, sepeda, menjadi hal yang biasa bagi kita sekarang? Bukankah
bahagia kita menjadi semakin mahal dan semakin kompleks? Semakin bergengsi dan
semakin fana?
Berbahagialah. Berbahagialah untuk hal-hal kecil.
Berbahagialah karena tidak semua hal sederhana yang ada padamu dapat dimiliki
orang lain. Bersenang-senanglah untuk segala hal yang patut disyukuri.
Tersenyumlah. Cobalah untuk melihat segelintir cahaya di tengah gelap.
Hari-harimu boleh saja melelahkan, membosankan, menyebalkan,
menyedihkan, tapi ingat,
jangan pernah lupa untuk bahagia.
No comments:
Post a Comment