Wednesday, August 10, 2016

cerita dari cempaka.

Rowan.

Gue selalu setuju dengan ungkapan bahwa hidup manusia itu seperti roda—kadang di atas, kadang di bawah. Tapi sejak masuk kedokteran, rasanya gue perlu mengubah sedikit ungkapan itu, karena menurut gue, hidup itu seperti roda—yang kadang-kadang bisa kempis juga, dan ketika kempis, elo akan merasakan bahwa roda lo terus berada di bawah—nggak naik-naik, lama banget naiknya, sampai pada satu titik rasanya lo pengen ganti ban aja.

Gue melintas di depan koridor yang membawa gue ke Cempaka. Bangsal yang menjadi tempat para ibu mempertaruhkan nyawanya demi melahirkan seorang bayi, bangsal yang menjadi saksi dari ribuan tangisan pertama manusia.

Tapi Cempaka nggak semulia itu buat gue dan koass-koass lainnya, bangsal ini jadi saksi titik terendah dari kehidupan ratusan dokter muda, bangsal ini jadi telinga untuk segala makian yang pernah dilontarkan kepada kami. Sederhananya, Cempaka adalah bangsal yang membuat gue menemukan ungkapan baru tentang roda kehidupan.

Perut gue langsung melilit begitu gue membuka pintu bangsal. Buat gue, Cempaka punya bau khasnya sendiri yang nggak pernah bisa gue deskripsikan. Gue berbelok ke arah rak sepatu dan mengganti sepatu gue dengan sandal yang khusus digunakan di dalam bangsal, karena sepatu merupakan barang paling haram di bangsal ini.

“APA?! NGGAK ADA LAB DARI PUSKESMAS?!! KALAU SAMPAI GUE KETEMU HASIL LABNYA, MAU TARUHAN APA?! HER-CO YA LO?!!!”

Gue berjengit. Itu adalah suara dokter Riana—penguasa Cempaka kalau sedang nggak ada konsulen di bangsal ini. Setelah menghabiskan hampir tiga minggu di sini, gue sudah mulai terbiasa dengan teriakannya yang melebihi desibel rata-rata manusia. Gue melirik jam tangan gue.

Shit.

Gue telat lima menit. Jam segini, dokter Riana pasti sedang melakukan visite pasien. Untungnya, untuk menuju ruang koass, gue nggak harus melewati kamar perawatan. Jadi, setelah gue menaruh tas, gue berhasil menyelinap di antara kerumunan teman-teman gue yang sedang mengelilingi dokter Ria.

“Hari ini kuret jam sepuluh setelah kegiatan ilmiah, satu orang yang hari ini jaga asistensi bareng gue,” Dokter Ria menyudahi visitenya dengan kalimat yang membuat gue hampir mengeluarkan seluruh isi perut gue.

Hari ini gue jaga. Dan berdasarkan urutan, giliran berikutnya yang asistensi adalah gue.

*
Selesai kegiatan ilmiah, gue segera berlari menuju Cempaka. Dokter Ria bakal ikutan kuret, jadi gue nggak boleh melakukan kesalahan sedikit pun. Sesampainya di kamar kuret, pasien yang akan dikuretase sudah menunggu di atas tempat tidur. Secepat mungkin gue mempersiapkan alat-alat yang dibutuhkan, memakai apron, dan mengenakan sarung tangan steril.

Persiapan selesai. Sempurna. Gue mengecek ulang seluruh peralatan, memastikan tidak ada celah sedikit pun bagi dokter Ria untuk memaki gue.

Gue tinggal menunggu dokter Ria dan konsulen yang akan melakukan kuret. Sambil menunggu, gue berusaha mengingat-ingat langkah apa saja yang perlu gue lakukan jika gue menjadi asisten.

Pintu kamar kuret terbuka. Dokter Ria masuk. Ia melirik meja steril dan melirik peralatan yang sudah gue susun. Semua lengkap, sesuai urutan. Dokter Ria tidak berkomentar. Gue tersenyum dalam hati.

Dokter Ria mengambil sebuah sarung tangan steril, dan memakainya. Lalu ia menatap gue tajam. Gue berusaha untuk nggak balas menatap matanya,

Gue merasa wajah dokter Ria memerah.

Gue mengernyit. Ikut melihat diri gue. Rasanya gue sudah memakai perlengkapan dengan baik dan benar. Sarung tangan steril. Apron. Dan…

Gue menatap kedua kaki gue.

Shit.

“ROWAN!!! ELO MAU MATI, HAH?!!!! BERANI-BERANINYA ELO MASUK KE SINI PAKAI SEPATU!!! KELUARRRR!!!”

Gue berlari keluar bahkan sebelum dokter Ria menyelesaikan kalimatnya. Gue bersumpah melihat asap mengepul dari kepalanya, dan gue berani taruhan, satu detik lebih lama lagi gue berada di sana, sendok kuret akan melayang ke muka gue.

Terima kasih kepada sepasang sepatu yang dengan suksesnya merusak hari gue. Terima kasih kepada kesalahan bodoh yang membuat gue nggak punya muka berhari-hari di depan dokter Ria.


Tapi, ya namanya juga koass, sekumpulan pelajar-pelajar tak berpengalaman yang tidak bisa mengelak dari kesalahan bodoh. Sejak hari itu gue sadar, koass adalah tentang melakukan kesalahan kecil sebanyak-banyaknya dan belajar dari kesalahan itu. Koass adalah tentang melakukan kesalahan-kesalahan bodoh dan menertawainya di lain hari, kelak—ketika kita sudah berhasil melewatinya.



picturetakenfrom:pinterest.com

No comments:

Post a Comment