Rowan.
Gue selalu setuju dengan ungkapan bahwa hidup manusia itu
seperti roda—kadang di atas, kadang di bawah. Tapi sejak masuk kedokteran,
rasanya gue perlu mengubah sedikit ungkapan itu, karena menurut gue, hidup itu
seperti roda—yang kadang-kadang bisa kempis juga, dan ketika kempis, elo akan
merasakan bahwa roda lo terus berada di bawah—nggak naik-naik, lama banget
naiknya, sampai pada satu titik rasanya lo pengen ganti ban aja.
Gue melintas di depan koridor yang membawa gue ke Cempaka.
Bangsal yang menjadi tempat para ibu mempertaruhkan nyawanya demi melahirkan
seorang bayi, bangsal yang menjadi saksi dari ribuan tangisan pertama manusia.
Tapi Cempaka nggak semulia itu buat gue dan koass-koass
lainnya, bangsal ini jadi saksi titik terendah dari kehidupan ratusan dokter
muda, bangsal ini jadi telinga untuk segala makian yang pernah dilontarkan
kepada kami. Sederhananya, Cempaka adalah bangsal yang membuat gue menemukan
ungkapan baru tentang roda kehidupan.
Perut gue langsung melilit begitu gue membuka pintu bangsal.
Buat gue, Cempaka punya bau khasnya sendiri yang nggak pernah bisa gue
deskripsikan. Gue berbelok ke arah rak sepatu dan mengganti sepatu gue dengan
sandal yang khusus digunakan di dalam bangsal, karena sepatu merupakan barang
paling haram di bangsal ini.
“APA?! NGGAK ADA LAB DARI PUSKESMAS?!! KALAU SAMPAI GUE
KETEMU HASIL LABNYA, MAU TARUHAN APA?! HER-CO YA LO?!!!”
Gue berjengit. Itu adalah suara dokter Riana—penguasa Cempaka
kalau sedang nggak ada konsulen di bangsal ini. Setelah menghabiskan hampir
tiga minggu di sini, gue sudah mulai terbiasa dengan teriakannya yang melebihi
desibel rata-rata manusia. Gue melirik jam tangan gue.
Shit.
Gue telat lima menit. Jam segini, dokter Riana pasti sedang
melakukan visite pasien. Untungnya,
untuk menuju ruang koass, gue nggak harus melewati kamar perawatan. Jadi,
setelah gue menaruh tas, gue berhasil menyelinap di antara kerumunan
teman-teman gue yang sedang mengelilingi dokter Ria.
“Hari ini kuret jam sepuluh setelah kegiatan ilmiah, satu
orang yang hari ini jaga asistensi bareng gue,” Dokter Ria menyudahi visitenya dengan kalimat yang membuat
gue hampir mengeluarkan seluruh isi perut gue.
Hari ini gue jaga. Dan berdasarkan urutan, giliran berikutnya
yang asistensi adalah gue.
*
Selesai kegiatan ilmiah, gue segera berlari menuju Cempaka.
Dokter Ria bakal ikutan kuret, jadi gue nggak boleh melakukan kesalahan sedikit
pun. Sesampainya di kamar kuret, pasien yang akan dikuretase sudah menunggu di
atas tempat tidur. Secepat mungkin gue mempersiapkan alat-alat yang dibutuhkan,
memakai apron, dan mengenakan sarung tangan steril.
Persiapan selesai. Sempurna. Gue mengecek ulang seluruh
peralatan, memastikan tidak ada celah sedikit pun bagi dokter Ria untuk memaki
gue.
Gue tinggal menunggu dokter Ria dan konsulen yang akan
melakukan kuret. Sambil menunggu, gue berusaha mengingat-ingat langkah apa saja
yang perlu gue lakukan jika gue menjadi asisten.
Pintu kamar kuret terbuka. Dokter Ria masuk. Ia melirik meja
steril dan melirik peralatan yang sudah gue susun. Semua lengkap, sesuai
urutan. Dokter Ria tidak berkomentar. Gue tersenyum dalam hati.
Dokter Ria mengambil sebuah sarung tangan steril, dan
memakainya. Lalu ia menatap gue tajam. Gue berusaha untuk nggak balas menatap
matanya,
Gue merasa wajah dokter Ria memerah.
Gue mengernyit. Ikut melihat diri gue. Rasanya gue sudah
memakai perlengkapan dengan baik dan benar. Sarung tangan steril. Apron. Dan…
Gue menatap kedua kaki gue.
Shit.
“ROWAN!!! ELO MAU MATI, HAH?!!!! BERANI-BERANINYA ELO MASUK
KE SINI PAKAI SEPATU!!! KELUARRRR!!!”
Gue berlari keluar bahkan sebelum dokter Ria menyelesaikan
kalimatnya. Gue bersumpah melihat asap mengepul dari kepalanya, dan gue berani
taruhan, satu detik lebih lama lagi gue berada di sana, sendok kuret akan
melayang ke muka gue.
Terima kasih kepada sepasang sepatu yang dengan suksesnya
merusak hari gue. Terima kasih kepada kesalahan bodoh yang membuat gue nggak
punya muka berhari-hari di depan dokter Ria.
Tapi, ya namanya juga koass, sekumpulan pelajar-pelajar tak
berpengalaman yang tidak bisa mengelak dari kesalahan bodoh. Sejak hari itu gue
sadar, koass adalah tentang melakukan kesalahan kecil sebanyak-banyaknya dan belajar
dari kesalahan itu. Koass adalah tentang melakukan kesalahan-kesalahan bodoh
dan menertawainya di lain hari, kelak—ketika kita sudah berhasil melewatinya.
|
picturetakenfrom:pinterest.com |