“Kayaknya
gue udahan deh,” Windy menghela napas berat sambil menyandarkan punggungnya
pada kursi kantin kampus.
“Apanya?”
Rei yang sejak tadi menekuni makanannya mendongak saat sahabatnya datang dengan
wajah kusut.
“Gue
sama Kevin, kayaknya kami udahan deh”.
“Really?” Rei mengangkat kedua alisnya. “After these eight years?”
“After these eight years.” Ulang Windy,”What’s so glorious about eight years?
Orang-orang bilang gila gue pacaran awet banget. But sometimes things don’t just work out and we have nothing to do
about it”.
“Elo
nggak mau coba memperjuangkan lagi, Win?”
“Elo
pikir gue nggak mikir sejuta kali sebelum bilang kayak gini? Delapan tahun,
Rei. Delapan. Elo pikir apa yang gue sama Kevin udah coba lakuin untuk hubungan
kami?”
Rei
terdiam, tidak tahu harus berkata apa.
“Cinta
itu bukan hitung-hitungan di atas kertas, Rei”.
Tepat
saat itu, ponsel Rei berbunyi, dan laki-laki itu tersenyum tipis saat melihat
pesan yang masuk ke dalam ponselnya. “Gue tahu,” Rei menjawab sekenanya.
Oh tentu saja, Rei adalah salah satu orang
yang paling tahu hal itu. “Mia?” Tebak Windy. Karena kalau cinta adalah hitung-hitungan di atas kertas, Rei tidak
akan bersama Mia saat ini.
Rei
mengangguk. Ia memperlihatkan foto makanan yang baru saja dikirim Mia kepada Windy.
“Masuk
rumah sakit lagi?” Windy melihat sticker
yang tertera di bawahnya. Mia tentu saja tidak suka makanan rumah sakit.
“Udah
dari tiga hari lalu,” jawab Rei. “Habis ini gue mau ke sana. Mau ikut?”
“Boleh,
udah lama gue nggak ketemu Mia,” Windy mengangguk. “Tell me, Rei. Apa yang membuat lo nggak pernah ninggalin Mia?”
“Elo
tahu gue sempat berpikir untuk nyerah berkali-kali,” Rei memutar bola matanya.
“Tapi
lo nggak pernah benar-benar ninggalin dia”. Windy menatap Rei. “Apa yang
membuat lo bertahan? Mia bukan orang yang bisa lo ajak jalan-jalan kemana pun
lo mau, dia bukan orang yang bisa nonton pertandingan futsal lo dan nyorakin lo
dari pinggir lapangan. Mia bukan orang yang bisa lo ajak naik gunung sesuai
dengan hobi lo, dia bahkan nggak bisa lo ajak berdesak-desakan di tempat umum.”
Rei
mengaduk es jeruknya dengan tatapan menerawang. Seulas senyum tipis menghiasi
bibirnya. “Berada di samping Mia nggak pernah mudah, Win. Melihat Mia berjuang
melawan lupusnya selalu semakin sulit setiap hari. Dan seperti yang elo bilang,
lupus membuat Mia nggak bisa melakukan banyak hal. Kami nggak pernah kencan di
luar ruangan siang-siang karena Mia nggak bisa kena panas matahari, gue nggak
bisa ajak dia nonton konser yang mau gue tonton, dan masih banyak lagi. Iya,
kadang gue iri dengan pasangan lain, kegiatan kami begitu terbatas. Iya, kadang
gue kesal Mia nggak bisa diajak capek dikit. Dan iya, sering banget gue mikir
bahwa mungkin lebih baik gue sama Mia udahan aja. Toh, Mia juga minta putus
saat pertama kali dia tahu dia kena lupus. Kami baru pacaran, dan kehidupan
setelah pacaran pasti akan lebih sulit. Mia bilang kami mungkin nggak akan
punya anak, dan gue dia juga nanya apa gue siap nemenin dia yang sakit-sakitan
seumur hidup.”
Windy
menunggu Rei melanjutkan.
“Tapi
di saat gue pengen banget nyerah, kehidupan tanpa Mia lebih menakutkan buat
gue. Karena rasa es krim yang gue makan nggak akan semanis dulu lagi, dan musik
yang gue dengar nggak akan seindah saat gue mendengarnya dengan Mia. Lagi pula,
gue bisa ngebayangin Mia akan melakukan hal yang sama kalau keadaannya
terbalik. Ingat saat SMA dulu, waktu tangan kanan gue patah? Mia tiap hari
datang ke kelas gue untuk nyalinin catatan gue selama tiga bulan penuh.”
“Walau
kadang ngomel dan minta traktiran,” Celetuk Windy sambil tersenyum nostalgis.
Ia tahu sahabatnya memilih orang yang tepat, walau sebagian orang tidak
melihatnya demikian. “Menurut lo kalian akan menikah?”
Rei
mengangkat bahu. “Perjalanan gue dan Mia masih panjang. Gue tahu dia bisa hidup
seperti orang normal selama ia berobat dengan baik. She’s Mia after all. Tapi
hubungan kami juga nggak akan mudah, dan gue nggak tahu apa yang akan kami
hadapi nantinya. Seperti yang lo bilang, cinta bukan hitung-hitungan di atas
kertas. Tapi untuk sekarang, gue hanya ingin di sampingnya—di saat ia paling
membutuhkan gue dalam hidupnya. Gue ingin berjuang bersama Mia. Gue rasa itu
cukup”.
What
are words
If
you really don't mean them
When
you say them
What
are words
If
they're only for good times
Then
they're done
Every
single promise I'll keep
Cause
what kind of guy would I be
If I
was to leave when you need me most
I'm
forever keeping my angel close
-What
Are Words
|
picturetakenfrom:pinterest.com |