Sunday, February 8, 2015

sugar coated

“Wih, calon mertua lo masuk majalah nih, Za!” Ardo menepuk bahu Dirza dari belakang, membuat Ardel yang sejak tadi makan dengan tenangnya di sebelah Dirza ikutang menoleh. Suara Ardo sanggup mengalahkan riuhnya suasana kantin siang itu.

Ardel hampir saja tersedak nasi goreng yang tengah dinikmatinya, buru-buru ia meneguk es teh manisnya, lalu merebut majalah yang baru saja hendak diambil oleh Dirza.

“Kamu kenapa sih?” Dirza menatap Ardel heran. Ardel tidak peduli. “Bukannya ayah kamu udah sering masuk media ya?”

“Iya, tapi—” Ardel membaca artikel yang tertulis di majalah itu sekilas, lalu melihat foto keluarganya yang terpampang manis di sana. Ia menghela napas lega.

“Tapi?” Desak Dirza. Akhir-akhir ini reaksi pacarnya itu sering terlihat aneh.

Ardel menggeleng sambil tersenyum kecut, lalu mengembalikan majalah tersebut pada Dirza. Ia membaca isinya.

Ardel melirik foto keluarganya yang tercetak di halaman majalah. Dirinya bersama Ayah dan Ibu, mereka tersenyum menatap kamera. Dengan posisi ayahnya yang memegang jabatan penting di kursi pemerintahan, ibunya yang memiliki agenda sosialita segudang, dan Ardel yang bersekolah di salah satu sekolah unggulan, maka tak heran jika mereka menjadi potret keluarga yang sempurna. Sungguh sebuah keluarga kecil yang bahagia. Setidaknya itu yang ada di pikiran orang-orang.

Pengen deh, punya keluarga kayak lo, Del,” Begitu teman-temannya selalu berkata. Kalimat yang mungkin sebentar lagi akan berganti menjadi,”Lo nggak malu ya punya keluarga kayak gitu?” Ardel menelan ludah. Tenggorokannya tercekat, selera makannya mendadak hilang.

“Kamu kenapa, sih?” Dirza kembali menatapnya dalam-dalam. “Belakangan ini kalau ada apa-apa soal bokap atau keluarga lo, lo jadi mendadak freak out”.

“Nggak apa-apa kok,” Ardel memaksakan tawanya. Dirza terlalu mengenalnya. Persahabatan ayahnya dan ayah Dirza membuat mereka saling mengenal bahkan sebelum mereka dapat mengingat. Dan hal itu pula yang membuat hidup keduanya sudah diplot sejak lahir. ‘Dirza-Ardel’, pasangan yang sanggup membuat semua mata melirik iri. Bagaimana tidak, coba bayangkan kehidupan macam apa yang akan dimiliki pasangan dari anak pejabat dan pemilik perusahaan consulting multi-nasional.

Kadang Ardel gerah dengan semua ini. Ia jengah dengan sorotan media di hidupnya. Hidup seperti ini membuat hari-harinya bermata dua. Ia punya kehidupan yang manis dan menarik, yang dipoles sedemikan rupa untuk menjadi konsumsi media; namun di sisi lain ia sadar hidupnya tidak sesempurna itu. Jauh dari sempurna bahkan. Dan ia merasa, kehidupannya di sisi itu—yang tersembunyi rapat dari lensa kamera, perlahan runtuh.

Ardel tidak dapat menebak sampai kapan reputasi ayahnya akan bertahan setelah sebulan lalu keluarganya tiba-tiba didatangi oleh petugas pemberatasan korupsi. Lalu sejak saat itu, terbongkarlah segala kebusukan ayahnya, dan seberapa besar uang yang telah dicuri ayahnya hingga ia dan ibunya dapat hidup semewah sekarang.

Tinggal menunggu waktu hingga akhirnya teman-teman Ardel termasuk Dirza mengetahui kebenaran memalukan ini. Tinggal menghitung hari sampai akhirnya teman-teman perempuannya sadar bahwa ia tidak lagi bisa keep up  dengan koleksi fashion terbaru dan ikutan mingle di tempat hip terbaru. Ia kini tinggal menunggu, sampai seluruh lapisan gula-gula yang selama ini menutupi hidupnya lepas satu per satu.

Ardel tahu ia harus menjadi berani, dan untuk itu ia akan memulainya hari ini. “Hei, Za”.

“Ya?”

“Kita udahan aja, ya,” Ardel kira ia akan menangis saat mengatakannya, namun di luar dugaan, ada lebih banyak rasa lega yang memenuhi hatinya ketimbang sedih.

“Maksud kamu?” Dirza menatapnya tak mengerti.

“Aku rasa kita tetap bersama karena sama-sama takut nggak menemukan yang lebih baik di luar sana. Aku dan kamu, we are just together since we don’t know when. People think that we are perfect being together, while deep down inside we know that the sparks has died; there isn’t even any sparks from the beginning. We are just… happened.

Dirza terdiam, namun Ardel tahu ia benar. Ia tahu Dirza juga sependapat dengannya.

“Jadi kita udahan?” Dirza menegaskan, tepat saat itu bel tanda istirahat berakhir berbunyi.


“Ya, kita udahan,” Ardel bangkit dari duduknya. Langkahnya terasa lebih ringan saat ia berjalan kembali ke kelas. Seakan selapis topeng yang menutupi wajahnya kini terangkat. Ia akan mengurainya pelan-pelan, membuka penutup manis kehidupannya lapis demi lapis, memperlihatkan wajah asli kehidupan Ardelia Winata pada orang-orang. Ia tidak peduli dengan tanggapan mereka. Ia hanya ingin hidupnya menjadi lebih jujur dan ringan.

picturetakenfrom:pinterest.com

No comments:

Post a Comment