Saturday, February 14, 2015

kencan pertama

Aku terbangun karena sinar matahari yang menerobos masuk lewat jendela kamarku. Rupanya aku lupa menutup tirai semalam. Masih pukul tujuh pagi, aku melirik ponsel, lalu menatap langit-langit kamarku.

Masih terlalu pagi untuk bangun di hari Sabtu, dan… hari kasih sayang.

Valentine.

Aku menghembuskan napas berat. Seharusnya hari ini jadi hari yang menyenangkan dan tentu saja romantis.

Seharusnya.
Jika aku masih bersamanya.

Hatiku terasa perih. Satu bulan sejak kami memutuskan untuk berhenti, namun rasa sakit itu masih tetap ada. Kenangan akan momen-momen yang pernah kami lewati bersama masih kerap hadir dalam mimpi-mimpiku. Suaranya masih sering menghantuiku. Aku bahkan masih dapat menghirup aromanya pada waktu-waktu tertentu.

Semua udah berakhir, Liandra. Aku mengingatkan diriku sendiri sebelum air mata mulai memenuhi sudut mataku.

Sebuah ketukan di pintu kamar mengejutkanku.

“Pagi, Putri cantik!” Sebuah suara yang dalam dan berat menyapaku riang, wajahnya menyembul dari balik pintu. Aku tak dapat menahan senyum melihatnya. Ia selalu mampu mengusir awan-awan kelabu yang berarak di atasku. “Ayo, siap-siap, jangan tidur terus. Hari ini kita kencan!”

“Kencan?” Aku bangkit dari posisi tidurku.

“Iya, kencan. Hari ini hari valentine, kan? Atau kamu sudah punya teman kencan lain?” Wajahnya berubah muram saat mengucapkan pertanyaan terakhir.

Aku menggeleng cepat.

“Oke, kalau begitu, lima belas menit lagi kita berangkat,” Ia kemudian menutup pintu kamarku.

Lima belas menit?! Aku buru-buru membuka lemari, mencari pakaian paling cantik yang dapat kukenakan di hari secerah ini. Pilihanku jatuh pada terusan selutut bermotif bunga-bunga yang manis.

*

Tiga puluh menit kemudian kami sudah duduk di sebuah restoran sambil menikmati sarapan kami. Aku suka restoran ini. Hampir seluruh sisi restoran ini terbuat dari kaca, membuat sinar matahari pagi menjadi satu-satunya sumber cahaya di sini. Bagian interiornya yang didominasi oleh kayu membuat tempat ini terkesan nyaman.

“Kamu cantik,” Pujinya.

Aku tersenyum lebar.

“Dira pasti menyesal udah mutusin kamu”.

Aku tertawa.

“Kamu kapok jatuh cinta?” Aku tidak menyangka pertanyaan itu akan keluar dari mulutnya. Topik seperti ini tidak pernah keluar dalam pembicaraan kami.

Aku berpikir sejenak. Aku tidak tahu. “Mungkin bukan kapok, tapi belum siap untuk memulai yang baru”.

Ia tersenyum lembut. Senyum yang selalu mampu menenangkanku. Bersamanya aku selalu merasa aman, bersamanya aku selalu merasa dapat menceritakan apa pun. Ia mengangguk paham. “Jangan pernah takut untuk jatuh cinta, Liandra. Tapi ingat, saat kamu jatuh cinta, kamu menjadi rapuh, dan saat itu, kamu harus siap untuk terluka. Mencintai seseorang itu menyenangkan, tapi kamu juga harus siap untuk hal-hal tidak menyenangkan yang menyertainya, kamu harus siap untuk berkorban, bahkan kamu harus siap untuk merasa sakit”.

Aku mengangguk. “Aku cuma nggak nyangka rasanya sesakit ini”.

Sosok di hadapanku tertawa renyah. “Time heals, Liandra. Suatu hari nanti kamu akan siap untuk memulai kisah yang baru. Dan sementara itu, sampai kamu siap, ada Ayah di sini”.

Aku tersenyum menatapnya. Betapa beruntungnya aku memilikinya, orang yang selalu mendukungku, membiarkanku mencoba, dan menangkapku saat aku jatuh.

“Terima kasih, Ayah”.

Aku tidak akan melupakan hari ini.

Kencan pertamaku dengan Ayah. 

picturetakenfrom:pinterest.com

No comments:

Post a Comment