“Wih,
calon mertua lo masuk majalah nih, Za!” Ardo menepuk bahu Dirza dari belakang,
membuat Ardel yang sejak tadi makan dengan tenangnya di sebelah Dirza ikutang
menoleh. Suara Ardo sanggup mengalahkan riuhnya suasana kantin siang itu.
Ardel
hampir saja tersedak nasi goreng yang tengah dinikmatinya, buru-buru ia meneguk
es teh manisnya, lalu merebut majalah yang baru saja hendak diambil oleh Dirza.
“Kamu
kenapa sih?” Dirza menatap Ardel heran. Ardel tidak peduli. “Bukannya ayah kamu
udah sering masuk media ya?”
“Iya,
tapi—” Ardel membaca artikel yang tertulis di majalah itu sekilas, lalu melihat
foto keluarganya yang terpampang manis di sana. Ia menghela napas lega.
“Tapi?”
Desak Dirza. Akhir-akhir ini reaksi pacarnya itu sering terlihat aneh.
Ardel
menggeleng sambil tersenyum kecut, lalu mengembalikan majalah tersebut pada
Dirza. Ia membaca isinya.
Ardel
melirik foto keluarganya yang tercetak di halaman majalah. Dirinya bersama Ayah
dan Ibu, mereka tersenyum menatap kamera. Dengan posisi ayahnya yang memegang
jabatan penting di kursi pemerintahan, ibunya yang memiliki agenda sosialita
segudang, dan Ardel yang bersekolah di salah satu sekolah unggulan, maka tak
heran jika mereka menjadi potret keluarga yang sempurna. Sungguh sebuah
keluarga kecil yang bahagia. Setidaknya itu yang ada di pikiran orang-orang.
“Pengen deh, punya keluarga kayak lo, Del,” Begitu
teman-temannya selalu berkata. Kalimat yang mungkin sebentar lagi akan berganti
menjadi,”Lo nggak malu ya punya keluarga
kayak gitu?” Ardel menelan ludah. Tenggorokannya tercekat, selera makannya
mendadak hilang.
“Kamu
kenapa, sih?” Dirza kembali menatapnya dalam-dalam. “Belakangan ini kalau ada
apa-apa soal bokap atau keluarga lo, lo jadi mendadak freak out”.
“Nggak
apa-apa kok,” Ardel memaksakan tawanya. Dirza terlalu mengenalnya. Persahabatan
ayahnya dan ayah Dirza membuat mereka saling mengenal bahkan sebelum mereka
dapat mengingat. Dan hal itu pula yang membuat hidup keduanya sudah diplot
sejak lahir. ‘Dirza-Ardel’, pasangan yang sanggup membuat semua mata melirik
iri. Bagaimana tidak, coba bayangkan kehidupan macam apa yang akan dimiliki
pasangan dari anak pejabat dan pemilik perusahaan consulting multi-nasional.
Kadang
Ardel gerah dengan semua ini. Ia jengah dengan sorotan media di hidupnya. Hidup
seperti ini membuat hari-harinya bermata dua. Ia punya kehidupan yang manis dan
menarik, yang dipoles sedemikan rupa untuk menjadi konsumsi media; namun di
sisi lain ia sadar hidupnya tidak sesempurna itu. Jauh dari sempurna bahkan.
Dan ia merasa, kehidupannya di sisi itu—yang tersembunyi rapat dari lensa
kamera, perlahan runtuh.
Ardel
tidak dapat menebak sampai kapan reputasi ayahnya akan bertahan setelah sebulan
lalu keluarganya tiba-tiba didatangi oleh petugas pemberatasan korupsi. Lalu sejak
saat itu, terbongkarlah segala kebusukan ayahnya, dan seberapa besar uang yang
telah dicuri ayahnya hingga ia dan ibunya dapat hidup semewah sekarang.
Tinggal
menunggu waktu hingga akhirnya teman-teman Ardel termasuk Dirza mengetahui
kebenaran memalukan ini. Tinggal menghitung hari sampai akhirnya teman-teman
perempuannya sadar bahwa ia tidak lagi bisa keep
up dengan koleksi fashion terbaru dan ikutan mingle di tempat hip terbaru. Ia kini
tinggal menunggu, sampai seluruh lapisan gula-gula yang selama ini menutupi
hidupnya lepas satu per satu.
Ardel
tahu ia harus menjadi berani, dan untuk itu ia akan memulainya hari ini. “Hei,
Za”.
“Ya?”
“Kita
udahan aja, ya,” Ardel kira ia akan menangis saat mengatakannya, namun di luar
dugaan, ada lebih banyak rasa lega yang memenuhi hatinya ketimbang sedih.
“Maksud
kamu?” Dirza menatapnya tak mengerti.
“Aku
rasa kita tetap bersama karena sama-sama takut nggak menemukan yang lebih baik
di luar sana. Aku dan kamu, we are just
together since we don’t know when. People
think that we are perfect being together, while deep down inside we know that
the sparks has died; there isn’t even any sparks from the beginning. We are
just… happened.”
Dirza
terdiam, namun Ardel tahu ia benar. Ia tahu Dirza juga sependapat dengannya.
“Jadi
kita udahan?” Dirza menegaskan, tepat saat itu bel tanda istirahat berakhir
berbunyi.
“Ya,
kita udahan,” Ardel bangkit dari duduknya. Langkahnya terasa lebih ringan saat
ia berjalan kembali ke kelas. Seakan selapis topeng yang menutupi wajahnya kini
terangkat. Ia akan mengurainya pelan-pelan, membuka penutup manis kehidupannya
lapis demi lapis, memperlihatkan wajah asli kehidupan Ardelia Winata pada
orang-orang. Ia tidak peduli dengan tanggapan mereka. Ia hanya ingin hidupnya
menjadi lebih jujur dan ringan.
|
picturetakenfrom:pinterest.com |