Friday, September 19, 2014

salju musim panas


Suhu udara siang itu sanggup memanggang siapa pun yang berani berdiri di bawahnya. Tapi, tentu saja bukan Saski namanya kalau mau kalah dengan matahari. Pukul tiga, dan ia sudah siap di lapangan softball, mendahului teman satu timnya yang lain.

‘TAK!’

“Awww!”

Siapa sangka, satu pukulan salah sasaran hari itu sanggup membawanya duduk bersisian dengan Hans hari ini.

What if I didn’t hit you that day?” Saski menyeruput kuah baksonya.

“Kita masih tetap akan ketemu di pestanya Emilia Aditirta,” Hans membetulkan posisi duduknya. Duduk di emperan kompleks sambil menikmati semangkuk bakso seperti ini adalah kegiatan yang menyebalkan bagi Hans, tapi toh ia lakukan juga demi Saski, gadis yang—diam-diam, sudah berhasil mencuri hatinya beberapa bulan terakhir.

Saski mengangguk. Ia nggak pernah menyangka orang asing yang nggak sengaja terkena pukulan bolanya, adalah orang yang sama dengan laki-laki yang menumpahkan cocktail ke dress putih gadingnya di tengah pesta. Tapi berkat kejadian itu, pesta yang dihadiri Saski karena dipaksa Ibu jadi nggak semembosankan perkiraannya. Ia jadi bisa berkenalan dengan Hans—seorang ekspat keturunan Belanda-Indonesia yang kebetulan sedang berlibur di Jakarta.

“Lo harus banget balik ke Belanda?” Ada nada kecewa yang gagal disembunyikan Saski dalam pertanyaannya.

“Kan gue udah bilang, gue emang nggak lama di sini,” Hans mencoba menikmati semangkuk bakso terakhirnya sebelum meninggalkan Jakarta—meninggalkan Saski. Namun setiap suapan yang masuk ke mulutnya terasa tawar, sehambar suasana hatinya.

Saski tidak menanggapi—yang justru membuat Hans semakin tidak tahu harus bicara apa. Kalau berbicara soal kepergiannya, Saski bisa mendadak jadi pendiam, berbeda 180 derajat dengan kepribadiannya yang sehangat musim panas.

“Di Belanda ada salju, kan ya?” Saski tiba-tiba menoleh ke arah Hans. Tersenyum dengan mata yang berbinar, berusaha mengenyahkan kesedihannya. Seperti yang dilakukannya ketika gadis itu gagal masuk ke pertandingan final softball dan Hans harus menghiburnya seharian. Hans ingat Saski juga tersenyum seperti itu saat akhirnya mereka memilih duduk menonton marathon serial Grey’s Anatomy di penghujung hari.

“Gue pengen deh ke sana,” Saski menopangkan dagu di atas kedua lututnya.

“Nanti ya, gue ajak lo ke sana kalau gue udah jadi eksmud,” Hans tertawa kecil sambil mengacak-acak rambut Saski, membuat gadis itu jadi semakin berat menahan air mata yang hampir menggelincir melalui sudut matanya.

“Nggak ah,” Di luar dugaan, Saski malah menggeleng. “Sebelum lo bisa bawa gue ke sana, gue pasti udah bisa nyusul lo. Pake duit gue sendiri”.

Hans terdiam sejenak, tapi kemudian tersenyum simpul. Satu lagi yang ia suka dari Saski adalah semangatnya yang selalu ’45. Seperti saat gadis itu mengajak teman-temannya untuk mengadakan pasar kaget demi menggalang dana untuk Pak Tjipto—tukang sapu sekolah mereka yang sakit keras. Iya, Saski selalu punya energi ekstra untuk hal-hal yang menurut ‘Hans’ ajaib.

“Kita liat aja siapa yang duluan sukses,” Tantang Hans.

Saski mengangguk mantap. “Gue nggak akan kalah”.

“Gue juga,”Balas Hans.

Saski berharap mereka dapat terus seperti ini. Duduk bersisian. Menghabiskan waktu bersama, membicarakan apa saja yang bermain dalam benak mereka. Hari-hari yang dihabiskannya bersama Hans terasa terlalu singkat.

It was a great summer vac, Sas. Really. Thanks to you,  Hans menatap semburat jingga yang mewarnai langit. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas.

And it’s kinda magical for me, Hans.”

“Until we meet again”.

“Yeah. Until we meet again”.

No comments:

Post a Comment