Suhu
udara siang itu sanggup memanggang siapa pun yang berani berdiri di bawahnya.
Tapi, tentu saja bukan Saski namanya kalau mau kalah dengan matahari. Pukul
tiga, dan ia sudah siap di lapangan softball,
mendahului teman satu timnya yang lain.
‘TAK!’
“Awww!”
Siapa
sangka, satu pukulan salah sasaran hari itu sanggup membawanya duduk bersisian
dengan Hans hari ini.
“What if I didn’t hit you that day?”
Saski menyeruput kuah baksonya.
“Kita
masih tetap akan ketemu di pestanya Emilia Aditirta,” Hans membetulkan posisi
duduknya. Duduk di emperan kompleks sambil menikmati semangkuk bakso seperti
ini adalah kegiatan yang menyebalkan bagi Hans, tapi toh ia lakukan juga demi
Saski, gadis yang—diam-diam, sudah berhasil mencuri hatinya beberapa bulan
terakhir.
Saski
mengangguk. Ia nggak pernah menyangka orang asing yang nggak sengaja terkena
pukulan bolanya, adalah orang yang sama dengan laki-laki yang menumpahkan cocktail ke dress putih gadingnya di tengah pesta. Tapi berkat kejadian itu,
pesta yang dihadiri Saski karena dipaksa Ibu jadi nggak semembosankan
perkiraannya. Ia jadi bisa berkenalan dengan Hans—seorang ekspat keturunan
Belanda-Indonesia yang kebetulan sedang berlibur di Jakarta.
“Lo
harus banget balik ke Belanda?” Ada nada kecewa yang gagal disembunyikan Saski
dalam pertanyaannya.
“Kan
gue udah bilang, gue emang nggak lama di sini,” Hans mencoba menikmati
semangkuk bakso terakhirnya sebelum meninggalkan Jakarta—meninggalkan Saski.
Namun setiap suapan yang masuk ke mulutnya terasa tawar, sehambar suasana
hatinya.
Saski
tidak menanggapi—yang justru membuat Hans semakin tidak tahu harus bicara apa.
Kalau berbicara soal kepergiannya, Saski bisa mendadak jadi pendiam, berbeda
180 derajat dengan kepribadiannya yang sehangat musim panas.
“Di
Belanda ada salju, kan ya?” Saski tiba-tiba menoleh ke arah Hans. Tersenyum
dengan mata yang berbinar, berusaha mengenyahkan kesedihannya. Seperti yang
dilakukannya ketika gadis itu gagal masuk ke pertandingan final softball dan Hans harus menghiburnya
seharian. Hans ingat Saski juga tersenyum seperti itu saat akhirnya mereka
memilih duduk menonton marathon serial Grey’s Anatomy di penghujung hari.
“Gue
pengen deh ke sana,” Saski menopangkan dagu di atas kedua lututnya.
“Nanti
ya, gue ajak lo ke sana kalau gue udah jadi eksmud,” Hans tertawa kecil sambil
mengacak-acak rambut Saski, membuat gadis itu jadi semakin berat menahan air
mata yang hampir menggelincir melalui sudut matanya.
“Nggak
ah,” Di luar dugaan, Saski malah menggeleng. “Sebelum lo bisa bawa gue ke sana,
gue pasti udah bisa nyusul lo. Pake duit gue sendiri”.
Hans
terdiam sejenak, tapi kemudian tersenyum simpul. Satu lagi yang ia suka dari
Saski adalah semangatnya yang selalu ’45. Seperti saat gadis itu mengajak
teman-temannya untuk mengadakan pasar kaget demi menggalang dana untuk Pak
Tjipto—tukang sapu sekolah mereka yang sakit keras. Iya, Saski selalu punya
energi ekstra untuk hal-hal yang menurut ‘Hans’ ajaib.
“Kita
liat aja siapa yang duluan sukses,” Tantang Hans.
Saski
mengangguk mantap. “Gue nggak akan kalah”.
“Gue
juga,”Balas Hans.
Saski
berharap mereka dapat terus seperti ini. Duduk bersisian. Menghabiskan waktu
bersama, membicarakan apa saja yang bermain dalam benak mereka. Hari-hari yang
dihabiskannya bersama Hans terasa terlalu singkat.
“It was a great summer vac, Sas. Really.
Thanks to you,” Hans menatap
semburat jingga yang mewarnai langit. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas.
“And it’s kinda magical for me, Hans.”
“Until we meet again”.
“Yeah. Until we meet again”.