Saya
ingat pagi itu sama seperti pagi-pagi lainnya. Hawa dingin yang sedikit menusuk
tulang, bau khas dari rumah sakit, dan saya yang berdiri setengah mengantuk
sambil mengikuti doa pagi. Mengikuti doa pagi rutin dari central seperti ini membuat saya teringat masa-masa SMA, ketika
renungan pagi seringnya hanya jadi rutinitas yang sekadar lewat. Lalu saya
sadar, kehidupan rohani saya belakangan ini juga lagi nggak beres. Doa saya
belakangan ini hanya jadi laporan rutin dengan Tuhan, saat teduh juga lebih banyak
bolongnya, dan kalau pun saat teduh, rasanya apa yang saya baca juga nggak
benar-benar saya renungkan. Entahlah, rasanya seperti malas berbagi cerita
dengan Tuhan, karena toh saya merasa Tuhan sepertinya hanya diam.
Lalu
setelah doa pagi selesai, saya dan beberapa teman saya berdiri di depan kamar
bersalin yang—untungnya, pagi itu sama sekali tidak terisi pasien. Entah
bagaimana awalnya, salah seorang ibu bidan—saya mengenalnya sebagai Bu Ning
tiba-tiba memberitahu kami bahwa salah seorang pasien yang baru saja dipindah
ke ICU sudah meninggal.
“Jadi
sebenarnya manusia hidup untuk apa ya?” begitu tanyanya sambil setengah
menerawang. Kami hanya diam. “ Saya pernah beberapa kali hampir mati,” ia
melanjutkan, sebuah kalimat yang sama sekali tidak saya duga akan keluar dari
mulutnya. Lalu Bu Ning mulai menceritakan kepada kami tentang
pengalaman-pengalamannya.
“Pernah
satu kali,” tuturnya pada ceritanya yang ketiga,”Waktu itu saya dan Bapak
sedang di pom bensin, ketika sedang jalan di sana, tiba-tiba kaki saya
tersandung, lalu jatuh ke dalam lubang yang sedang digali. Kepala saya
terbentur besi yang ada di pinggir lubang. Lalu saya merasa banyak sekali orang
berkerumun, suami saya langsung menggendong saya. Tapi tiba-tiba saya sadar dan
terbangun di sebuah padang rumput. Saya bingung kenapa tiba-tiba saya ada di
sana. Lalu saya lihat ada Tuhan Yesus di samping saya. Wajahnya lembut, ia
tersenyum pada saya. Tapi, saya heran, kok
Tuhan Yesus nggak tolong saya? Tuhan Yesus cuma lihatin saya sambil
tersenyum.”
“Dokter
agamanya apa?” Saya tersentak, Bu Ning tengah menatap saya. “Saya? Kristen,”
jawab saya. “Iya, Dok. Kadang kalau kita lagi ada masalah kita suka ragu ya.
Tapi percaya deh, Tuhan yang kita percaya itu nggak salah, saya yakin. Kita
nggak mempercayai Tuhan yang salah. Dia yang selalu ada di samping kita waktu
kita susah”.
Saya
hanya bisa mengangguk tanpa berkata-kata. Bukan saja karena Bu Ning bicara
seperti itu, tapi karena Bu Ning hanya menatap saya diantara kami berempat.
Bandung, Mei 2014
And He never leave me alone, even in the
middle of the silence, His presence is still very loud
No comments:
Post a Comment