Wednesday, August 13, 2014

believe


Saya ingat pagi itu sama seperti pagi-pagi lainnya. Hawa dingin yang sedikit menusuk tulang, bau khas dari rumah sakit, dan saya yang berdiri setengah mengantuk sambil mengikuti doa pagi. Mengikuti doa pagi rutin dari central seperti ini membuat saya teringat masa-masa SMA, ketika renungan pagi seringnya hanya jadi rutinitas yang sekadar lewat. Lalu saya sadar, kehidupan rohani saya belakangan ini juga lagi nggak beres. Doa saya belakangan ini hanya jadi laporan rutin dengan Tuhan, saat teduh juga lebih banyak bolongnya, dan kalau pun saat teduh, rasanya apa yang saya baca juga nggak benar-benar saya renungkan. Entahlah, rasanya seperti malas berbagi cerita dengan Tuhan, karena toh saya merasa Tuhan sepertinya hanya diam.

Lalu setelah doa pagi selesai, saya dan beberapa teman saya berdiri di depan kamar bersalin yang—untungnya, pagi itu sama sekali tidak terisi pasien. Entah bagaimana awalnya, salah seorang ibu bidan—saya mengenalnya sebagai Bu Ning tiba-tiba memberitahu kami bahwa salah seorang pasien yang baru saja dipindah ke ICU sudah meninggal.

“Jadi sebenarnya manusia hidup untuk apa ya?” begitu tanyanya sambil setengah menerawang. Kami hanya diam. “ Saya pernah beberapa kali hampir mati,” ia melanjutkan, sebuah kalimat yang sama sekali tidak saya duga akan keluar dari mulutnya. Lalu Bu Ning mulai menceritakan kepada kami tentang pengalaman-pengalamannya.

“Pernah satu kali,” tuturnya pada ceritanya yang ketiga,”Waktu itu saya dan Bapak sedang di pom bensin, ketika sedang jalan di sana, tiba-tiba kaki saya tersandung, lalu jatuh ke dalam lubang yang sedang digali. Kepala saya terbentur besi yang ada di pinggir lubang. Lalu saya merasa banyak sekali orang berkerumun, suami saya langsung menggendong saya. Tapi tiba-tiba saya sadar dan terbangun di sebuah padang rumput. Saya bingung kenapa tiba-tiba saya ada di sana. Lalu saya lihat ada Tuhan Yesus di samping saya. Wajahnya lembut, ia tersenyum pada saya. Tapi, saya heran, kok Tuhan Yesus nggak tolong saya? Tuhan Yesus cuma lihatin saya sambil tersenyum.”

“Dokter agamanya apa?” Saya tersentak, Bu Ning tengah menatap saya. “Saya? Kristen,” jawab saya. “Iya, Dok. Kadang kalau kita lagi ada masalah kita suka ragu ya. Tapi percaya deh, Tuhan yang kita percaya itu nggak salah, saya yakin. Kita nggak mempercayai Tuhan yang salah. Dia yang selalu ada di samping kita waktu kita susah”.

Saya hanya bisa mengangguk tanpa berkata-kata. Bukan saja karena Bu Ning bicara seperti itu, tapi karena Bu Ning hanya menatap saya diantara kami berempat.

Bandung, Mei 2014


And He never leave me alone, even in the middle of the silence, His presence is still very loud

No comments:

Post a Comment