Sometimes we need to travel around the world
just to remind us how comfortable it is to be at home. —Mika
“It’s been two years, huh?” Mika
memperhatikan es batu yang mengapung di atas ice lemonade-nya.
“Since?” Will tersenyum tipis, pertanyaan
yang tentu saja ia tahu betul jawabannya.
“Since it was over,” Mika membalas
tatapan Will dengan sebuah senyuman yang menurut Will sama sekali tidak berubah
sejak dua tahun lalu, senyuman yang tidak pernah membuatnya bosan untuk
menikmatinya. “Since there’s no more ‘us’,
sejak kamu bikin aku nangis semalaman di rumah Nadia”.
“Hey! It was our decision,” Will tidak
terima disalahkan begitu saja.
“Iya,
iya,” Mika terkekeh. “Kamu nggak berubah ya, tetap serius. Kaku”.
“Terserah,”
Will memberengut, namun kembali tersenyum tak lama kemudian. Ia rindu gadis di
hadapannya lebih daripada yang ia pikirkan. Melihat Mika duduk di depannya
seperti ini membuatnya ingin meraih tangan gadis itu dan tak pernah melepasnya
lagi.
“Tapi
aku suka,” Mika melanjutkan. “Dan aku suka kamu ngajak kita ketemuan hari ini”.
“Aku
kira kamu bakal marah,” jawab Will, ia baru sadar kalau Mika masih menggunakan
‘aku-kamu’ dengannya—sebuah kebiasaan yang tidak pernah dapat mereka hilangkan
bahkan setelah putus.
“I grow up, Will,” Mika mengedipkan
sebelah matanya, membuat Will semakin tidak dapat menahan keinginannya untuk
memeluk gadis itu. “Wound is a strange
thing you know, one day it makes you cry until you feel you’ve nothing left,
but once it’s healed, you can laugh over it when you see the scar.”
“Wah,
wah, Mika yang aku kenal benar-benar udah gede, ya?” Will tertawa renyah.
“Will!”
Mika pura-pura cemberut, lalu ikut tertawa. “So, how’s life without me?”
“Aku
mulai bisnis restoran di Bandung. Sejauh ini aku senang ngerjainnya, yah walau
masih banyak yang harus dibenahi,” Will meneguk ice coffee-lattenya. “But one
thing I realize, life’s without you is pretty different. It’s like something is
missing.”
Mika
terdiam mendengar kalimat terakhir Will.
“Anyway,” Will berdeham untuk
menghilangka kecanggungan. “How about
yours? Cerita apa aja yang aku lewatkan?”
“Nggak
banyak,” Mika tersenyum tipis. “Told you
I’ll chase my dream. Aku kerja di agen perjalanan sekarang, and I travel around the world.” Mata
Mika terlihat berbinar ketika mengatakannya.
“Happy to hear that,” Will tersenyum
tulus.
“But I miss going home, Will,” Mata Mika
menatap Will lurus-lurus. “Even sometimes
I feel I am lost in the middle of nowhere”.
“Mika—“
“But then, just now, when I see you, somehow
I feel just like I’m home”. Mika menyadari jantungnya berdegup cepat. Ia
menunduk dalam-dalam, tak berani menatap mata Will. Bodohnya ia berkata seperti
itu.
“Mika—“
“Maaf,
Will,” Mika merasakan sekujur tubuhnya dilingkupi hawa panas. Telapak tangan
dan kakinya berkeringat. “Aku nggak bermaksud—“
“Mika,”
Will kini sudah berdiri di sampingnya. Ia meraih kedua bahu Mika hinga
membuatnya tersentak. “Welcome home.”
Mika
tidak tahu apa yang terjadi. Namun, detik berikutnya ia menyadari bahwa ia
sudah berada dalam dekapan Will—tempat paling hangat dan nyaman yang pernah
dirasakannya.
And it’s good to be at home.
and you're just like a cup of hot chocolate after a long journey picturetakenfrom:pinterest.com |